Gerakan Bali Bersih Sampah, Antara Ambisi Lingkungan Dan Ancaman Bagi UMKM Lokal

Gubernur Bali mengeluarkan SE No.9/2025, larang plastik sekali pakai dan AMDK di bawah 1 Liter. Kebijakan ini berpotensi merugikan UMKM & butuh fasilitas pendukung.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 04 Juni 2025 | 11:11 WIB
Gerakan Bali Bersih Sampah, Antara Ambisi Lingkungan Dan Ancaman Bagi UMKM Lokal
Kegiatan pemilahan sampah di Yayasan Bali Wastu Lestari Denpasar, Selasa (4/6/2025)

Namun seiring berjalannya waktu, dia melihat bahwa apa yang ditekuninya bukan semata untuk ekonomi. Namun di dalamnya juga ada nilai-nilai sosial.

“Saya melihat keuntungan double. Untung uang iya, untuk karma juga ada. Tahun 2016, belajar autodidak, karena ilmu daur ulang ini tidak tersebar dengan bagus," ungkapnya. 

Sebelum memilih jalan ini, Eka sempat mencoba berbagai ide usaha.

“Saya berpikir, usaha itu semakin bertumbuh, pasti semakin perlu banyak suplai material. Bagaimana jika didapat dari sampah?”

Baca Juga:Koster Geram, Usaha di Bali Didominasi WNA Dan Bahayakan Warga Lokal

Berulang kali Eka mencoba dan melakukan berbagai kesalahan. Sudah tak terhitung kerugian yang dialaminya.

Ketika hanya mengumpulkan sampah dan mengirim, tanpa diolah, dia kerap dipermainkan. Marginpun terbilang sangat kecil.

Agar bisa terus bertahan, mendapat nilai tambah yang lebih dan memberikan gaji yang layak kepada stafnya, akhirnya dia berinovasi dengan cacah.

Eka melakukan trial and error sampai berkali-kali. Kini hasil cacahan dalam sebulan maksimal mencapai 50 ton.

“Pertama kali bahkan dapat tawaran ke China. Namun tidak lama karena kalah modal. Akhirnya bermain di pasar Indonesia saja. Sebagian besar dikirim ke Pulau Jawa,” ujarnya.

Baca Juga:Jembrana Moratorium Toko Modern Berjaringan Karena Dianggap Pinggirkan UMKM

Dalam satu bulan, dia mengirim dua kali. Setiap kali mengirim berkisar antara 15 sampai 30 ton.

Dia membeberkan, harga di pabrik juga tidak stabil. Kecuali dia mampu mengirimkan dalam jumlah besar yakni minimal 500 ton per bulan, barulah bisa dikeluarkan kontrak dan harga jadi lebih terjaga.

“Kita tidak membuat produk. Hanya membuat material, semacam pengganti kayu. Jadi plastik dilebur, dibuatkan papan. Saat di awal, memang berjuang di riset dan development. Uang banyak terbakar di sana. Investasi mencapai Rp 8 miliar,” ujarnya.

Bercermin dari pengalamannya selama ini, dengan adanya SE nomor 9, Eka mengakui bahwa peraturan itu bagus. Namun ada yang perlu dievaluasi kembali, yakni terkait AMDK. 

“Dengan adanya SE ini mungkin usaha saya akan tambah maju karena saat desa dipaksa mengolah sampah, pasti perlu partner. Setelah mereka mengumpulkan, tentu perlu partner daur ulang. Tapi yang bermasalah dari SE ini adalah AMDK. Efeknya ke UMKM, ada yang menjadi distributor. Jadi perlu pikirkan soal karyawan, usaha mereka,” tegasnya. 

Menurutnya, kemungkinan efek ke depan adalah banyak bisnis yang tidak jalan, ada PHK, sehingga harus dicari solusi yang tepat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini