Hadiah yang Paling Disukai Masyarakat Bali : Uang, Sembako Dan Perbaikan Tempat Ibadah

Dikhawatirkan angka yang bertumbuh itu semakin lama dapat menjadi budaya di masyarakat Bali.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 18 Maret 2025 | 07:53 WIB
Hadiah yang Paling Disukai Masyarakat Bali : Uang, Sembako Dan Perbaikan Tempat Ibadah
Ilustrasi paket sembako [Shopee]

SuaraBali.id - Fenomena pemberian hadiah dengan maksud tertentu saat momen politik atau politik uang yang terjadi di masyarakat Bali dianggap wajar oleh 58 persen warga di Pulau Dewata.

Berdasarkan kajian publik yang dilakukan oleh KPU Provinsi Bali dan LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) Universitas Udayana, selama rangkaian Pilgub Bali 2024, hal ini dianggap wajar.

Menurut kajian tersebut wajar jika seseorang menerima uang atau hadiah dari paslon tertentu dan memilihnya saat Pilkada.

Hal itu menjadi salah satu temuan dalam kajian publik yang dilakukan oleh Kajian tersebut mengambil sampel sebanyak 800 orang pemilih yang tersebar di 9 kabupaten dan kota di Bali.

Baca Juga:Trans Metro Dewata Hidup Lagi, Rp 16 Miliar Digelontorkan Oleh Pemkot Denpasar

Hasilnya terdapat tiga bentuk hadiah yang paling disukai oleh responden penelitian itu.

Bentuk pemberian uang tunai, sembako, dan sumbangan perbaikan tempat ibadah menjadi yang paling disenangi oleh masyarakat Bali.

Menurut Ketua Tim Peneliti, Kadek Dwita Apriani, bantuan untuk perbaikan tempat ibadah publik juga politik uang berupa barang yang manfaatnya dirasakan secara kelompok.

Angka 58 persen tersebut cenderung lebih tinggi dibanding penelitian serupa di tingkat nasional.

Ketua Tim Peneliti kajian publik oleh KPU Provinsi Bali dan LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) Universitas Udayana, Kadek Dwita Apriani [Suara.com / Putu Yonata Udawananda]
Ketua Tim Peneliti kajian publik oleh KPU Provinsi Bali dan LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) Universitas Udayana, Kadek Dwita Apriani [Suara.com / Putu Yonata Udawananda]

Dari kajian pada Pemilu tahun 2019 lalu, prevalensi politik uang di Indonesia saat itu adalah 34 persen.

Baca Juga:Penyebab Penumpang Dan Penerbangan Domestik di Bali Turun Hingga 11 Persen

Dwita menilai hasil kajian ini bisa menjadi alarm dan dapat menjadi persoalan jangka panjang jika tidak ada perbaikan.

“Jadi kita melihat alarm bahwa masyarakat semakin permisif terhadap politik uang melalui serangkaian Pemilu yang mereka lalui sampai hari ini,” ujar Dwita saat ditemui di Kantor KPU Provinsi Bali, Jumat (14/3/2025).

“Kalau ini dibiarkan, tentu saja akan menjadi persoalan bagi masyarakat dan masa depan demokrasi kita,” imbuhnya.

Namun demikian, sekitar 52 persen dari responden juga mengakui tetap memilih paslon sesuai hati nuraninya meski menerima politik uang.

Menilik dari hasil tersebut, Dwita menilai jika penggalakan edukasi politik dan demokrasi menjadi salah satu solusi. Termasuk juga dengan melakukan edukasi terhadap politik uang.

Sementara itu, KPU Provinsi Bali menilai memiliki tugas besar untuk memperbaiki angka tersebut ke depannya.

Terlebih, dikhawatirkan angka yang bertumbuh itu semakin lama dapat menjadi budaya di masyarakat Bali.

Selain itu, budaya tersebut tidak hanya berdampak bagi pemilih, namun juga berdampak bagi calon peserta pada Pemilu.

Karena, biaya berpolitik bisa menjadi bertambah dengan tingginya kebutuhan untuk menggunakan politik uang.

“Saya menyepakati bahwa sesuatu hal yg permisif akan menjadi kebiasaan dan ketika kebiasaan akan jadi proses budaya,” ujar Komisioner KPU Provinsi Bali, I Gede John Darmawan saat ditemui pada kesempatan yang sama.

“PR besar lagi kami penyelenggara Pemilu. Tentu saja PR besar juga bagi peserta Pemilu karena kalau dibiarkan tentu cost (biaya) politik akan tinggi,” imbuh dia.

Di samping itu, John juga menilai harus menganalisa soal pengertian politik uang yang dipahami masyarakat.

Hal tersebut dikarenakan bisa jadi ada perbedaan pemahaman politik uang secara hukum dengan yang dipahami masyarakat.

Dia menjelaskan jika secara Hukum Pemilu, politik uang baru bisa dihitung sejak seseorang sudah ditetapkan menjadi calon atau paslon pada Pemilu.

Namun, dia menilai pemahaman yang ada di masyarakat bisa berbeda.

Dia mencontohkan figur-figur politik yang kerap memberi sumbangan atau dana punia untuk membangun tempat ibadah atau upacara adat di luar tahapan Pemilu.

Sumbangan tersebut dapat dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai politik uang, meski secara hukum Pemilu tidak termasuk.

“Jadi sebenarnya sebatas mana pengertian money politic itu berlaku. Takut saya masyarakat menganggap ketika orang jauh-jauh hari menyumbang, dia sudah menyatakan itu masuk kategori money politic,” tuturnya.

Kajian tersebut juga menuangkan beragam temuan yang menggambarkan penilaian masyarakat Bali terhadap Pilgub 2024 lalu seperti jangkauan masa kampanye, sosialisasi politik, dan pemilihan kandidat.

Secara umum, 80,3 persen responden juga menilai pelaksanaan Pilgub Bali 2024 berjalan demokratis.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini