Memaknai Omed-omedan Bukan Sebagai Tradisi Ciuman Massal Atau Ajang Cari Jodoh

Momen pelukan tersebut kemudian disambut teriakan peserta dan penonton

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 13 Maret 2024 | 11:20 WIB
Memaknai Omed-omedan Bukan Sebagai Tradisi Ciuman Massal Atau Ajang Cari Jodoh
Tradisi omed-omedan di Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Selasa (12/3/2024) (suara.com/Putu Yonata Udawananda)

SuaraBali.id - Satu hari pasca Hari Raya Nyepi, beberapa tempat di Bali memiliki tradisi khasnya untuk menyambut pergantian tahun saka. Salah satunya adalah tradisi omed-omedan yang digelar di Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar pada Selasa (12/3/2024).

Tradisi satu ini kerap dikaitkan dengan ciuman massal atau tradisi untuk mencari jodoh. Namun, omed-omedan tidak ada kaitannya dengan kedua hal tersebut.

Prosesi tersebut diawali dengan silaturahmi masyarakat setempat di Banjar Kaja dan diikuti dengan upakara dan persembahyangan di pura tersebut. Setelahnya, baru proses omed-omedan dilangsungkan.

Puluhan pemuda akan membentuk dua barisan yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Nantinya, salah satu antara pemuda dan pemudi itu akan berhadapan dan didorong untuk akhirnya berpelukan.

Baca Juga:Ngaku Dapat Pawisik Pemangku Ini Hendak Meditasi di Pura Silayukti Saat Nyepi

Momen pelukan tersebut kemudian disambut teriakan peserta dan penonton, serta guyuran air. Saat dipeluk, barisan masing-masing akan menarik mereka untuk dipisahkan.

“Tradisi ini bukan tradisi cium-ciuman. Sebenarnya kedua kelompok itu laki perempuan berpelukan. Dalam pelukan itu tidak tertutup kemungkinan terjadinya ciuman,” ujar Kelihan Banjar Kaja Desa Adat Sesetan, I Made Sudama, Selasa (12/3/2024).

Dari namanya, kata “omed” dalam omed-omedan berarti menarik. Sehingga omed-omedan dapat diartikan sebagai tarik-menarik. Secara filosofis, prosesi omed-omedan ini dimaknai untuk mempererat tali silaturahmi pada tahun baru saka.

Tradisi ini sudah dilangsungkan sejak abad ke-17 yang lalu. Bahkan dalam zaman penjajahan, masyarakat saat itu rela membayar upeti untuk tetap melaksanakan tradisi tersebut. Sudama menyebut jika tradisi tersebut tidak dilangsungkan, hal buruk bisa terjadi pada masyarakat Banjar Kaja.

Meski saat ini omed-omedan diikuti oleh kelompok pemuda di Banjar Kaja, namun bukan berarti tradisi tersebut sebagai ajang pencarian jodoh.

Baca Juga:59 dari 103 Napi Hindu di Lapas Lombok Barat Dapat Remisi Nyepi

Sudama menjelaskan jika dulu peserta omed-omedan diikuti oleh masyarakat Banjar Kaja dari berbagai usia. Namun, pada sekitar tahun 1990-an, tradisi itu dilanjutkan oleh pemuda karena berharapan bahwa pemuda yang akan melestarikan dan menghidupkan omed-omedan.

“Itu yang dimaksud omed-omedan. Begitu dia jauh, masing-masing kelompok menunjuk laki dan perempuan lalu didorong. Begitu mereka berpelukan maka akan ditarik, itu lah yang dimaksud omed-omedan,” tutur dia.

“Tidak ada berpacaran, bukan untuk ajang mencari jodoh di sini, jadi murni spontanitas di tempat,” imbuh Sudama.

Salah satu peserta perempuan dalam tradisi itu, Meila (20), menjelaskan jika dirinya mau mengikuti tradisi tersebut karena memang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Omed-omedan pada tahun ini juga merupakan edisi keempatnya untuk mengikuti tradisi itu.

Senada dengan penjelasan Sudama, Meila juga menilai omed-omedan juga bukan untuk mencari jodoh. Namun, dia menyebut jika memang ada yang secara kebetulan akhirnya menjalin hubungan usai omed-omedan.

“Karena sudah tradisi di sini turun temurun. Bukan (pencarian jodoh) sih sebenarnya, tapi mungkin ada kebetulan,” ujarnya saat ditemui di lokasi.

Usai tahapan omed-omedan, para peserta kemudian menuntaskan prosesi dengan melakukan penyineban di Pura di Banjar Kaja tersebut.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak