Sejarah Rantok, Alat Penumbuk Padi di Lombok yang Sarat Dengan Cerita Asmara

Sisi lain, melalui rantok ini tersimpan cerita-cerita asmara yang masih melekat hingga saat ini.

Eviera Paramita Sandi
Senin, 07 November 2022 | 19:32 WIB
Sejarah Rantok, Alat Penumbuk Padi di Lombok yang Sarat Dengan Cerita Asmara
Ibu-ibu saat membunyikan suara Rantok pada saat pertunjukan di kantor desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, NTB, Minggu (6/11/2022) (Suara.com/Toni Hermawan)

SuaraBali.id - Musim panen tiba, masyarakaat Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur (Lotim) menumbuk padi menggunakan alat tradisional yang dinamakan rantok.

Konon alat penumbuk padi ini pun bukan hanya sebagai alat memudahkan pekerjaan para petani zaman dahulu.

Sisi lain, melalui rantok ini tersimpan cerita-cerita asmara yang masih melekat hingga saat ini.

Ketua Lembaga Adat Desa Pengadangan, Asipuddin mengatakan zaman dulu  rantok ini sebagai alat penumbuk padi di sawah-sawah milik warga, dinamakan rantok sebab dalam menggunakannya dipukul untuk merontokkan atau dalam bahasa Sasak dikenal dengan pantok.

Baca Juga:Fenomena Langka, Gerhana Bulan Total di NTB Akan Terjadi Pada 8 November

Alat ini digunakan untuk memindahkan bulir padi. Selanjutnya dipindahkan ke sebuah alat bernama lesung. Sebab zaman dulu masyarakat sekitar mengkonsumsi beras bulu. 

"Alat ini dulu bawa ke sawah saat musim panen dan yang menumbuk padi biasanya dari kalangan dadere (perempuan belum menikah)", katanya memulai cerita.

Sebab suara Rantok yang terdengar cukup jauh. Sehingga diketahui di sawah tersebut sedang panen.

Suara Rantok ini pun sebagai kode untuk meminta bantuan sedang ada panen dan membutuhkan tenaga yang lebih banyak.

"Suara rantok juga sebagai kode jika disana ada dedare sedang menumbuk", tambanhnya.

Baca Juga:Hakim Vonis Bebas Dua Terdakwa Pengedar Narkoba, Kejati NTB Siapkan Kasasi

Bukan hanya sebagai kode untuk bantuan, rantok juga sarat dengan kisah-kisah asmara. Sebab usai menemukan suara Rantok, pria bujang mendekat dan membantu Dedare desa untuk menumbuk padi.

Saat itu muncullah perbincangan antara dedare desa dan pria melalui pantun dan saling berbalas atau dikenal dengan Sando.

"Nah kalau ada perempuan sudah menikah biasanya dia yang mengalah untuk memberikan ke pria bujang yang datang", katanya melanjutkan cerita.

Usia terjadi saling berbalas pantun atau Sando. Pria dan dedare terus berbalas pantun dan saling merayau sembari menumbuk. Awal ini lah akan menimbulkan benih-benih asmara.

"Oh ini dia (dedare) pinter menumbuk jadi cocok  dijadikan istri", ucap Asipuddin mengakhiri cerita.

Kontributor: Toni Hermawan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak