SuaraBali.id - Keberadaan gerabah di Desa Masbagik Timur, Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai dilirik. Baru-baru ini pengrajin gerabah mulai mengirim ke Australia dan mendapatkan respons yang positif.
Gerabah indah nan menawan yang dipajang sebagai hiasan ataupun untuk cindremata harus menjalani proses yang cukup panjang. Mulai dari proses pemilihan bahan baku hingga proses akhir pengecatan atau perwanaan.
Hartini, salah satu pengrajin gerabah mengatakan, proses pembuatan terbilang cukup panjang. Tahapan pertama memilah tanah sebagai bahan baku dan mencampurkan dengan tanah sari lalu disiram.
Setelah merata tanah diinjak-injak atau biasa dikenal dengan 'ilat-ilat'. Waktu terbilang cukup lama hingga satu jam. Setelah bahan dirasa sudah tercampur selanjutnya pengrajin akan mulai membentuk gerabah dengan berbagai model atau dikenal dengan 'mande'.
Waktu mande juga harus berhati-hati dan dibutuhkan keluwesan tangan untuk membentuk gerabah. Usai melewati mande gerabah masuk ke tahap 'krek' menggunakan pisau atau sabit guna meratakan bagian-bagian gerabah.
Tahapan ini harus diperhatikan secara cermat supaya bagian-bagian gerabah kasar dapat dihaluskan. Usai melewati tahap krek, gerabah memasuiki tahap 'ngalusang' atau menghaluskan dengan waja atau batu.
Selanjutnya menjemur dan membakar gerabah. Usai dibakar gerabah akan diberikan warna menggunakan cat sehingga menarik perhatian para pembeli atau pun penikmat gerabah.
"Untuk pembuatan gelas kecil dalam sehari biasa sampai 25 buah kalau guci sekitar 10 buah. Kerjaannya duduk dari pagi sampai malam," katanya saat ditemui pada festival gerabah Masbagik, Minggu (28/8/2022).
Hartini mengaku sudah menjalani profesinya sekitar 25 tahun. Dalam membuat gerabah membutuhkan tenaga ekstra. Sebab dari pagi hingga malam harus duduk menyelesaikan gerabah.
Baca Juga:Ini Dia Trik Menghindari Rasa Dingin di Pesawat Terbang
Istitahat hanya solat dan makan. Sejauh ini harga gerabah miliknya berkisar Rp 20-100 ribu. Sebab membuat kerajinan gerabah yang terbilang bentuknya kecil dan minimalis.
"Saya hanya buat yang kecil-kecil aja kayak asbak rokok dan cangkir (gelas kecil)", tambahnya.
Sejauh ini gerabah-gerabah yang dibuat sesuai dengan pesanan. Jika tidak ada pesanan dirinya tidak berani membuat dalam jumlah yang besar.
"Kalau belum ada pesanan paling bikin sedikit dan yang kecil-kecil aja," jelasnya.
Keberadaan gerabah sempat mati suri
Ketua Aosiasi Gerabah Masbagik Timur Muliadi mengaku pengrajin gerabah di Masbagik Timur alami mati suri mulai dari tragedi Bom Bali. Untuk membangkitkan itu, pengrajin dan pengusaha menawarkan hingga ke luar daerah.
Setelah mulai bangkit, beberapa tahun lalu terjadi gempa dahsat di Pulau Lombok dan baru-baru ini adanya pandemi covid-19 yang menyerang dunia.
"Saat Covid-19 Pemda Lotim cukup tanggap, semua dinas-dinas diwajibkan menggunakan alat cuci tangan menggunakan bong (wadah air) sehingga banyak permintaan pembuatan bong," katanya.
Beberapa waktu lalu pihaknya sudah mengekspor gerabah ke Prancis, Abu Dhabi, dan baru-baru ini adanya permintaan dari Australia.
Hal ini buah kerja sama semua pihak. Sebab villa ataupun pengusaha penginapa di wilayah Lotim membawa tamu jalan-jalan ke gerabah yang ada di Masbagik Timur.
"Semoga pemerintah tidak bosan membina kami dan para pengrajin akan tetap belajar menghasilkan karya yang lebih menawan," katanya.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah meminta pemerintah Lotim melalui dinas terkait untuk mendefiniskan gerabah yang ada, apakah hanya untuk hiasan atau pun cindremata.
Kemudian mendata jumlah pengrajin dan menentukan pasar dari gerabah-gerabah yang ada. Sebab dikhawatirkan jika salah definisi dan salah pasar makanya semua akan salah.
Kontributor: Toni Hermawan