SuaraBali.id - Turut berjuang menantang maut demi kemerdekaan bangsa lain namun sadar namanya akan dilupakan, mungkin akan terasa menyesakkan. Namun inilah yang dilakukan oleh puan penggugat kelahiran Inggris, K’tut Tantri.
K’tut Tantri bukanlah nama aslinya. Ia dilahirkan dengan nama asli Muriel Stuart Walker di Glasgow, Skotlandia yang kemudian pindah ke California, Amerika Serikat.
Mungkin kini tak banyak yang tahu bahwa perempuan berkulit putih ini dulunya telah berjuang menantang maut dari Bali sampai ke tanah Jawa. Itu semua dilakukannya bersama dengan para pejuang Republik Indonesia termasuk juga Bung Karno dan Bung Tomo.
Kala masih hidup dan berjuang untuk Indonesia, ia menyadari bahwa bisa saja setelah Indonesia merdeka namanya akan terlupakan dari sejarah. Pantai Kuta mungkin menjadi saksi bisu sejarah awal mula perjuangannya.
"Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali,” tulisnya dalam buku harian yang tercantum dalam buku Revolt in Paradise yang terbit tahun 1960.
Sosok Ktut Tantri cukup dikenal di masanya. Ia pernah bersua langsung dengan sang proklamator Ir. Soekarno. Selain itu ia juga menjadi penyiar radio berbahasa Inggris yang pro atas kemerdekaan Indonesia dan bergabung dengan Bung Tomo di radio pemberontakan Surabaya.
Dialah satu dari sekian sosok minoritas yang mewartakan kepada dunia internasional bagaimana perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Jejak perjuangannya pun ada di Pulau Bali. Pulau yang sangat dia cintai dan menjadi tujuan hidupnya setelah menyaksikan film Bali, The Last Paradise.
Kehadirannya di Pulau Dewata dimulai pada tahun 1932 dan tinggal di sebuah hotel milik orang Belanda di Denpasar. Namun di hotel tersebut ia mengaku tidak nyaman karena cemoohan pejabat Hindia Belanda.
Perempuan yang akhirnya dikenal dengan Soerabaja Soe ini pun memilih tinggal di pelosok desa di Bali, tanpa ia sadari saat bensin mobilnya habis dan melihat sedang ada upacara ia masuk ke sebuah Puri.
Di sana ia bertemu dengan Anak Raja, bernama Anak Agung Nura pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman. Dari situlah perempuan Amerika Serikat dan berdarah Skotlandia itu diangkat menjadi anak ke-empat raja Klungkung itu dan disematkan nama K'tut.
Kisah perjuangannya ini juga ditulis dalam sebuah buku berjudul Revolusi di Nusa Damai.
Hotel Impian Dihancurkan Jepang
Ketut Tantri mewujudkan cita-citanya membangun hotel di kawasan Pantai Kuta, Bali, ia begitu terpesona dengan keindahan Bali. Hotel itu dibangun berkat bantuan kawan-kawan dan penduduk desa.
Hotel tersebut dinamai Swara Segara yang pada akhirnya hancur porak poranda.
Hotel Swara Segara konon mengadopsi budaya Barat dan Timur, hotel itu cepat tenar dan banyak dikunjungi turis. K’tut menuliskan, orang yang hanya punya sedikit uangpun bisa menginap di hotelnya.
Kemudian tentara angkatan udara Jepang menduduki Bali K’tut Tantri dan Agung Nura saat itu harus mengungsi ke Jawa. Saat itulah Hotel Swara Segara yang dibangun K’tut Tantri dihancurkan Jepang.
Tak ada yang tersisa hingga titik lokasinya pun masih menjadi tanda tanya besar ketika mencoba menggali jejaknya.
Tentara Jepang disebutkan memiliki kebijakan untuk menghancurkan semua properti milik orang kulit putih. Hotel dan bungalow K’tut Tantri pun tak bersisa. Harta benda dan lukisan-lukisan K’tut juga telah dijarah.
“Tidak ada sepotong bambu pun masih utuh di situ. Tak sampai segenggam batu koral yang masih tersisa dari bangunan pura,” tulis K’tut.
Jejak Sejarah Misterius
Saat SuaraBali.id mencari jejak sejarah itu, bekas perjuangannya di Bali sulit dijumpai. Dalam beberapa literatur hanya dituliskan tanda-tanda lokasi hotel Swara Segara. Diantaranya berada di pinggir pantai dan dekat dengan pelabuhan udara kala itu.
Mulai dari Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. I Nyoman Darma Putra yang memerlukan kroscek keberadaan Hotel Swara Segara itu.
"Saya kurang mendalami Ktut Tantri, hanya baca sedikit-sedikit dari buku Revolusi di Nusa Damai. Menurut pengetahuan saya yang perlu dicek lokasinya adalah lokasi Inna Kuta. Perlu double check karena ini tidak boleh salah," kata Prof Darma Putra.
Sementara, Jero Bendesa Adat Kuta, Wayan Wasista juga tidak mengetahui sosok K'tut Tantri.
"Saya tidak tau tentang Ibu Tantri," tuturnya.
Sedangkan saat dikroscek kepada Public Relation Hotel Kuta Bali Beach, Ketut Tjekeg ia juga tidak mengetahui titik lokasi persis bekas hotel Swara Segara milik K’tut Tantri.
Namun demikian wartawan berusia 60 tahun yang telah menjadi saksi awal mula dibangunnya hotel Inna Kuta Bali Beach itu mengaku sering mendengar nama Ktut Tantri.
"Pada saat itu saya sering dengar nama Ketut Tantri, tetapi saya tidak tahu dia punya Hotel di Kuta,” ujarnya.
Namun demikian ia merujuk kepada lokasi Natour Kuta Beach di Kuta. Meski tidak tahu pasti apakah benar apakah lokasi hotel itu yang dimaksud.
"Sebelum Hotel Bali Beach dibuka 1 November 1966, sejak tahun 1925 sudah ada Natour Bali Hotel di Denpasar, Natour Sanur Beach, dan Natour Kuta Beach di Kuta. Apakah Natour Kuta Beach ini bekas milik K'tut Tantri, saya juga tidak tahu pasti," sambungnya.
Rela Disiksa Demi Kemerdekaan Bangsa Lain
Kembali lagi soal kisah K'tut Tantri, saat mengungsi di Jawa, K'tut tinggal di Hotel Oranje Surabaya, ia bersama Agung Nura berkeliling di Jawa ikut serta dalam gerakan bawah tanah untuk kemerdekaan Indonesia. Hidupnya tak pernah lepas dalam bayang-bayang ancaman maut.
Namun K'tut dicurigai oleh Jepang, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Kediri atas tuduhan sebagai mata-mata Amerika. Ia mengisahkan bahwa ia mendapatkan siksaan yang berat, dipukuli, ditelanjangi, dan dibiarkan kelaparan.
Saat momentum Jepang kalah terhadap sekutu, K'tut dipindah ke rumah sakit, di sana dia dirawat seorang dokter teman Nura. K'tut sempat tidak sadarkan diri dan melewatkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah pulih K'tut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui siaran di radio di Surabaya. Ia pun mendapatkan sebutan Surabaya Sue karena ketenarannya sebagai pewarta yang mengguncang dunia Internasional.
Bersama Bung Tomo ia juga membantu menyiarkan pidato-pidatonya yang membakar semangat rakyat untuk terus berjuang karena saat itu Kota Surabaya hancur dihantam bom oleh pasukan Inggris. Saat pasukan Inggris menduduki Surabaya, K'tut berjuang menyuarakan kemerdekaan Indonesia kepada dunia internasional.
Di akhir hayatnya, ia meninggal dan peti jenazahnya diselimuti bendera merah putih dan dihiasi ornament Bali sebagaimana permintaannya semasa hidup.
Jenazahnya pun diaben di Australia dan abunya ditebar ke Pantai Kuta kehendakknya. Sedangkan sisa harta kekayaannya diberikan kepada anak-anak kurang mampu di Bali.
K’tut Tantri pun membuktikan kecintaan pada Indonesia dan bangsanya. Kalah atau menang tetap Indonesia. Seperti pada pernyataannya di Revolt In Paradise :
“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan”.
Kontributor : Yosef Rian