Menyaksikan Museum Hidup ARMA di Kampung Wisata Ubud Bali

Gemericik suara air, hijaunya pepohonan serta warna-warni bunga menyambut setiap wisatawan

Muhammad Yunus
Minggu, 31 Juli 2022 | 19:14 WIB
Menyaksikan Museum Hidup ARMA di Kampung Wisata Ubud Bali
Wisatawan saat menyaksikan koleksi lukisan di ARMA, Ubud, Gianyar, Bali [SuaraBali.id/ANTARA-HO-ARMA]

SuaraBali.id - Gemericik suara air, hijaunya pepohonan serta warna-warni bunga menyambut setiap wisatawan yang memasuki ARMA (The Agung Rai Museum of Art) di kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Museum yang berdiri di atas lahan seluas 7,5 hektare itu tak hanya memajang sekitar 400 koleksi lukisan Bali dari masa ke masa. Namun juga menjadi tempat pelestarian tanaman pengobatan tradisional (taru pramana) dan tumbuhan untuk upakara (sesajen).

Ada pula panggung terbuka dengan dikelilingi pohon-pohon enau yang menjulang tinggi dan pohon beringin besar di salah satu sisinya, semakin membuat teduh suasana.

Selain itu, wisatawan dapat menikmati suguhan para petani dengan aktivitasnya di areal persawahan dan sekaligus bisa ikut berbaur bersama mereka untuk menanam dan memanen padi.

Baca Juga:Pengendara Motor Terjun ke Jurang Sekitar GWK, Tewas di TKP

"Di lingkungan museum ini, kita juga bisa melakukan kegiatan meditasi alam, yang kalau dijelaskan bisa menghabiskan waktu berhari-hari," kata Anak Agung Gde Rai, sang pemilik dan pendiri ARMA.

Hal ini, menurutnya, sekaligus sebagai bentuk pemuliaan terhadap air dan berbagai jenis tanaman.

Ketika bicara soal museum, bagi Agung Rai, tak semata-mata kita menunjukkan barang-barang kuno dan hal-hal yang bernuansa tempo dulu, namun harus mampu memikat setiap generasi yang berkunjung.

Oleh karenanya, ia menawarkan konsep museum terintegrasi sehingga ARMA menjadi museum yang hidup. Selain didukung lingkungan yang begitu asri dengan rimbunnya pepohonan, wisatawan juga dapat melihat berbagai kegiatan pelestarian budaya.

Ada kegiatan latihan menari dan menabuh tanpa dipungut biaya yang diikuti oleh anak-anak di sekitar museum tanpa dipungut biaya.

Baca Juga:Mendadak Lepas Aaron Evans dan Gerrad Artigas, Warganet Sentil Persis Solo: Tim Butuh Proses, Contoh Bali United Noh

Ketika sudah mahir, mereka pun berkesempatan untuk tampil pentas dalam pertunjukan seni yang digelar pada hari-hari tertentu di panggung terbuka ARMA.

Tak hanya itu, para pelancong juga dapat melihat praktik para pelukis yang sedang melukis, maupun pemahat yang asyik membuat ukiran.

Yang tidak kalah menarik, ada sejumlah kelas pelatihan yang dapat diikuti para pelancong ketika berwisata ke museum yang berlokasi di Jalan Raya Pengosekan, Ubud, Kabupaten Gianyar itu.

Mulai dari berlatih gamelan Bali, membuat ukiran kayu, melukis, menari Bali, memasak kuliner Bali, membuat kerajinan perak, melukis telur, kelas yoga, membuat sesajen/sarana persembahan dan sebagainya.

Setiap akhir pekan maupun hari Purnama dan Tilem juga disuguhkan kesenian Cak yang dibuat menyatu dengan alam.

Agung Rai menuturkan, museum bukanlah bangunan yang diperuntukkan begitu saja sebagai ajang bisnis. Melainkan bangunan yang menyatu dengan alam, pedesaan dan masyarakat, the living museum.

Yang dipentaskan di tempat itu sangat menarik, apalagi disaksikan di panggung terbuka di bawah sinar bulan purnama. "Rugi jika berwisata ke Bali tanpa berkunjung ke museum ini," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah Made Mangku Pastika saat berkunjung ke ARMA belum lama ini.

Pastika, yang juga mantan Gubernur Bali itu mengaku bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam menikmati karya lukisan dari sang maestro yang menjadi koleksi ARMA dan menikmati asrinya tanaman di seputaran museum.

Lukisan maestro

The Agung Rai Museum of Art (ARMA) merupakan salah satu museum seni rupa di Bali yang menyimpan berbagai koleksi lukisan yang berasal dari pelukis-pelukis ternama, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Museum ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro pada 9 Juni 1996.

Lukisan yang dipamerkan antara lain lukisan Kamasan klasik yang dibuat di atas kulit kayu, mahakarya para seniman Batuan dari tahun 1930-an hingga 1940-an.

Ada pula lukisan-lukisan monumental dan karya maestro lukis diantaranya karya Affandi, Raden Saleh, Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith, I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Buat, Anak Agung Gede Sobrat, I Gusti Deblog, Willem Gerald Hofker, Adrien Le Mayeur De Merpres dan sebagainya.

Untuk lukisan karya maestro selalu terpajang dan tetap dipertahankan tanpa penggantian berkala karena wisatawan mancanegara sengaja berkunjung untuk melihat lukisan tersebut.

Lukisan karya para pelukis muda kenamaan Indonesia maupun Bali juga menjadi bagian dari koleksi ARMA. Namun untuk jenis lukisan yang ini, beberapa bulan sekali akan diganti untuk memberikan ruang dan kesempatan pada pelukis muda lain agar karyanya bisa diapresiasi masyarakat dan pengunjung.

Menurut budayawan yang beberapa hari terakhir mendapat penghargaan Bali-Bhuwana Nata Kerthi Nugraha dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu, para pelajar diberi kesempatan untuk menampilkan lukisannya di tempat itu.

Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki ARMA, sebelumnya telah menarik minat Presiden Amerika Serikat Barack Obama bersama keluarga untuk berkunjung. Demikian pula Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan BJ Habibie tak melewatkan untuk berwisata ke ARMA.

Agung Rai pun mengusulkan sejumlah jalan di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali agar menggunakan nama-nama pelukis yang telah berjasa menghidupkan Ubud sebagai kampung pariwisata internasional.

Saat menerima kunjungan reses anggota DPD RI Made Mangku Pastika di Gianyar, akhir Juli lalu, Agung Rai mengusulkan, nama tokoh-tokoh pendahulu yang menghidupkan dan mengenalkan Ubud melalui karya seni lukisnya, diharapkan dapat digunakan sebagai nama jalan.

Dengan mengabadikan menjadi nama jalan, diharapkan pula bisa mengedukasi pelajar dan generasi muda tentang sejarah perkembangan seni lukis dan perkembangan pariwisata Ubud sehingga menjadi seperti saat ini.

Sejumlah nama pelukis asing yang namanya layak diabadikan sebagai nama jalan di Ubud, seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Miguel Covarrubias dan Arie Smith serta yang tidak kalah penting nama pelukis Bali I Gusti Nyoman Lempad dan sebagainya.

Ketika menggunakan nama pelukis, di baliknya tersimpan pengetahuan terselubung karena anak-anak dan wisatawan yang datang akan bertanya mengapa dinamakan jalan seperti itu.

Demikian pula bisa mengajak mereka untuk mulai mencintai dan tertarik dengan museum yang di Bali jumlahnya ada sekitar 30 itu.

Bahkan, dia menaruh harapan besar agar pengetahuan mengenai museum juga bisa masuk dalam kurikulum pendidikan, sehingga para guru dapat sejak dini mengenalkan museum pada anak-anak. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak