SuaraBali.id - Rencana proyek pembangunan Terminal LNG di Sanur mendadak menjadi polemik di masyarakat.
Pasalnya, rencana proyek tersebut mendapat tentangan warga Desa Adat Intaran, Sanur, Denpasar, Bali.
Mereka sendiri mensinyalir bahwa adanya proyek tersebut dikhawatirkan merusak ekosistem alam, khususnya mangrove yang ada di sekitar lokasi rencana proyek.
Soal pro kontra rencana proyek tersebut, pengamat Lingkungan yang juga Ketua Bali Sustainable Development Foundation, Dr. Ketut Gede Dharma Putra mengaku memahami kekhawatiran masyarakat tersebut.
Baca Juga:Teco Andalkan Eber Bessa di Laga AFC Cup Bali United Vs Kaya FC Iloilo Filipina
Menurut dia, kekhawatiran masyarakat tersebut menurutnya harus mendapat tanggapan dan diserap oleh para stakeholder terkait seperti pemangku kebijakan, eksekutif, legislatif, maupun pelaksana pekerjaan.
Pasalnya, menurut dia, biasanya penolakan masyarakat tersebut justru terjadi lantaran adanya kurangnya komunikasi dan sosialisasi dari para stakeholder tersebut dengan masyarakat.
“Perlu kajian sosial budaya yang mendalam sebelum sebuah proyek dikerjakan”, kata dia saat dikonfirmasi Suara.com, Rabu 29 Juni 2022.
Pria yang juga Ketua Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan Universitas Udayana (Unud) ini juga mengatakan bahwa pembangunan terminal LNG itu sebenarnya memiliki dampak positif bagi penyelesaian kemandirian energi Bali.
Mengingat bahwa saat ini bahwa saat ini Bali memiliki kapasitas pembangkit listrik lebih dari 1200 MW, dengan kebutuhan maksimal berkisar 980 MW, dan sebesar 350 MW bersumber dari pembangkit Paiton di Jawa Timur yang masih menggunakan batubara.
Baca Juga:Saking Semangatnya Ngibing di Pesta Kesenian Bali, Nenek Ini Sampai Jatuh dari Panggung
“Angka ini diproyeksikan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Bali, sebagaimana tercantum dalam RUPTL Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, beban listrik Bali akan mencapai 1.185 Megawatt sampai dengan 2023,” ujarnya.
Adanya pembangkit listrik yang menggunakan energi bahan bakar fosil yang selama ini ada menurutnya akan menimbulkan residu polutan yang tidak sedikit.
“Dari sisi ekonomi pun penggunaan gas memiliki nilai efisiensi yang signifikan,” ungkap dia.
Menurutnya, dengan penggunaan gas dalam sistem pembangkitan listrik di Bali dengan sendirinya akan meningkatkan kemandirian energi bagi Bali.
Selain itu, penggunaan energi bersih akan memberi citra positif untuk Bali di mata dunia.
Mengenai pemilihan lokasi pemmbangunan lokasi proyek di Kawasan Pariwisata Sanur, ia menyebut bahwa Bali sebenarnya pernah memiliki pengalaman bagaimana mengelola kawasan proyek dengan melakukan program recovery lingkungan dengan pendekatan sosial budaya yang tepat.
Sebutlah, proyek Denpasar Sewerage Development Project (DSDP), Proyek Pengamanan Pantai Sanur, Kuta, Nusa Dua dan Tanah Lot (Bali Beach Conservation Project), pembangunan waduk, instalasi pengolahan sampah di Denpasar, yang ekses negatifnya mampu diminimalisasi.
“Yang penting, setiap proyek harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan alam Bali, agar tetap selaras dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Manusia Bali tidak bisa lepas dari harmonisasi manusia-lingkungan sebagai bentuk yadnya kepada Tuhan,” imbuhnya.
“Di Indonesia harus diakui persoalan penentuan lokasi proyek sering menimbulkan masalah karena kita belum memiliki suatu sistem data terintegrasi terkait lokasi dan statusnya. Dari blueprint tersebut kemudian didetailkan ke masing-masing titik lokasi, berupa detail engineering design.” Oleh karena itu, menurutnya, “perlu kajian/analisis lingkungan hidup strategis pada rencana di lokasi tersebut,” imbuhnya.
Sebelumnya, Gubernur Bali, Wayan Koster memilih tetap bungkam terkait penolakan tersebut.
Saat Suara.com mencoba mewawancarai Koster, politisi PDIP itu tidak mau memberikan komentarnya.
“Nggak cukup, cukup, cukup, nggak usah wawancara, yang tadi aja dengerin,” ujar Koster saat ditemui usai Sidang Paripurna DPRD Bali, Senin 27 Juni 2022.
Seperti diketahui, warga Desa Adat Intaran, Sanur, Denpasar menolak adanya proyek terminal LNG di kawasan daerahnya.
Menurut mereka proyek tersebut dikhawatirkan akan merusak ekosistem hutan mangrove yang ada di sekitar wilayahnya.
Bahkan, mereka meminta agar pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Pansus Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2022-2042 dihentikan sementara oleh DPRD.
Pasalnya, mereka khawatir justru dengan adanya Perda RTRW tersebut justru dinilai hanya membuka peluang untuk dibangunnya terminal LNG di area Mangrove Sidakarya.
"Kita melihat kalau LNG bisa terjadi yang akan dikeruk 3,3 juta meter kubik di depan kawasan kita. Yang akan terjadi tentunya hutan mangrove akan dibabat. Anggota dewan pasti sudah tahu fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove fungsinya menyerap karbon, menghindari tsunami, tempat biota laut hidup. Kalau itu sampai habis bagaimana? Kita tidak melarang pembangunan kita setuju pemerintah membuat pembangunan asalkan tidak menghancurkan alam," imbuh Bendesa Intaran I Gusti Agung Alit Kencana.
Kontributor: Ragil Armando