SuaraBali.id - Orang tua joki cilik di Bima diharapkan bisa membatasi buah hatinya menjadi joki pada pacuan kuda. Hal ini karena beredar kabar-kabar yang tidak baik tentang joki cilik di bawah umur 10 tahun.
Dimana saat lomba pacuan kuda, anak-anak ini malah menomor duakan sekolah yang seharusnya jadi kewajiban utama.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Nusa Tenggara Barat (NTB) Niken Saptarini Widiyawati Zulkieflimansyah meminta orangtua agar tergerak hatinya.
"Orang tua harus bergerak hatinya untuk membatasi anak yang masih di bawah umur 10 tahun untuk tidak menjadi joki cilik," kata Niken pada program Kabar Bunda Niken (KBN) dalam rilisnya Kamis (27/5/2022).
Baca Juga:Akan Digunakan Akhir Juni, Pembangunan Sirkuit di Samota Untuk MXGP Dikebut
Baik keluarga baik anak maupun ayah joki cilik sebagai kepala rumah tangga seharusnya mengutamakan pendidikan bagi masa depan anak-anaknya.
"Karena informasi-nya, saat lomba pacuan kuda, joki cilik ini tidak masuk sekolah," tambahnya.
Ia menilai persoalan lain yang dihadapi joki cilik saat pacuan adalah risiko kemungkinan terjadi kecelakaan.
Terlebih bila diselenggarakan taruhan di sana, menurut para ahli sudah merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak.
Dari 10 hak anak yang harus dijamin oleh semua pihak salah satunya adalah pendidikan dan kesehatan.
Baca Juga:Warga Lombok Barat yang Sebar Hoaks Foto Korban Pemanahan di Mataram Terancam Bui 6 Tahun
"Joki cilik adalah masalah kompleks yang terjadi di NTB. Namun harus ada perlindungan khusus terhadap anak sebagai joki cilik. Walaupun pacuan kuda sebagai tradisi dan budaya di Bima," katanya menjelaskan.
Ketua TP PKK Kabupaten Bima Rostiati Dahlan, yang mengaku sangat khawatir dengan keberadaan joki cilik tersebut.
Kendati demikian ada hal yang harus diperhatikan mengenai persoalan joki cilik ini. Pertama terkait ekonomi, kedua pendidikan dan ketiga terkait dengan hobi.
"Kondisi ekonomi memaksa anak-anak ini menjadi joki cilik. Tergiur dengan bayaran yang hanya sedikit dibanding keselamatannya," ujar Rostiati Dahlan.
Begitupun persoalan pendidikan, menjadi terbengkalai akibat anak tidak masuk sekolah. Tidak hanya itu, hobi turun temurun ini juga menjadi faktor seorang anak berani menjadi joki.
"Oleh karena itu di sinilah peran orang tua untuk melarang anaknya menjadi joki karena masih terlalu kecil," kata istri Wakil Bupati Bima tersebut.
Rufidah yang merupakan salah satu pemerhati anak di Bima mengatakan bahwa profesi joki cilik ini termasuk pegadaian terhadap jiwa anak.
"Karena pengaruhnya dan akibatnya terhadap keamanan, pendidikan dan hak anak," ujarnya.
Oleh karena itu semua pihak harus ikut peduli terhadap bentuk kegiatan anak tersebut, baik itu orang tua joki, pemerintah, organisasi Pordasi Kabupate n Bima dan semua komponen masyarakat.
Sedangkan engurus Pordasi Kabupaten Bima, Irfan, menegaskan bahwa ia dan pengurus daerah maupun pusat terus mengatur regulasi tentang kategori pacuan kuda tradisional tersebut.
"Misalnya joki harus sesuai kelas dan ukuran kuda, memakai pengaman lengkap saat latihan maupun pertandingan dan di asuransi," katanya. (ANTARA)