Padahal, ia mengaku telah memberikan sejumlah uang kapada EP demi memuluskan jalan menjadi CPNS.
EF menceritakan, pada akhir 2019, EF bertemu dengan pegawai kejaksaan berinisial JT. JT inilah yang kemudian mempertemukannya dengan oknun jaksa, EP.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, EF kemudian menyerahkan uang tanda jadi sebesar Rp60 juta.
Informasi tersebut dikuatkan dengan bukti kuitansi tertanggal 24 Maret 2020 dengan dalih pembayaran pinjaman. Selanjutnya, dicicil sebesar Rp40 juta, Rp 50 juta, dan terakhir Rp10 juta hingga Desember 2020.
Berbekal uang mahar ini, korban EF dijanjikan akan mendapatkan Surat Keputusan (SK) sebagai CPNS melalui jalur khusus.
“Katanya, saya dijanjikan akan lulus melalui jalur kebijakan,” kata EF.
Namun, kata EF, hingga pertengahan Juli 2021, janji SK ini tidak kunjung datang. Korban lalu mendatangi lagi oknum jaksa EP untuk meminta pengembalian uang.
Oknum jaksa EP tidak dapat memenuhi pengembalian uang ini hingga November 2021.
"Uang itu juga bukan uang pribadi saya, tapi hasil gadai tanah sawah orang tua saya," ujar EF.
Menanggapi kasus ini, Humas kejaksaan tinggi NTB mengatakan bahwa telah menyerahkan sepanuhnya kasus tersebut kepada pihak kepolisian. Sebab, kata Dedi, pelaporan tersebut merupakan laporan pidana.