SuaraBali.id - Risa (20 tahun) perempuan jemaah Ahmadiyah. Ingat betul kejadian pada 2006 silam. Ia tidak akan melupakan momen ketika dia dan keluarga diangkut. Menggunakan truk Satpol PP meninggalkan rumahnya di Lombok Timur.
Saat itu, tak banyak yang ia tahu. Namun, sepemahamannya, berdiam diri di tempat tersebut bukanlah pilihan yang bijak.
Ia dan keluarga dibawa ke Transito, Kota Mataram. Mereka diminta menetap di lokasi yang sebelumnya sering digunakan sebagai tempat singgah oleh transmigran.
Seiring ia beranjak dewasa, ia mulai paham dengan dirinya. Bersamaan dengan rentetan peristiwa hidup keluarganya. Ia dan keluarga sempat keluar dari Transito ke Kampung Ketapang, Gunungsari Lombok Barat.
Baca Juga:Pemerintah Resmi Hapus Cuti Bersama Nataru, Fakta Baru Tewasnya Mahasiswa UNS
Namun, sekali lagi, dirinya dan keluarga mendapat perlakuan yang sama. Diusir dan dipersekusi.
Transito memang kembali jadi pilihan. Lokasi yang cukup aman meski tak dapat dikatakan layak untuk ditinggali.
Sekali lagi, pengalaman itu membuat Risa makin mengerti. Bahwa dirinya dan keluarga, dianggap sebagai kelompok orang yang berbeda. Rentetan peristiwa yang dilalui itu cukup sebagai contohnya.
Tak jarang, perlakuan diskriminatif diterima ia dan teman-temannya.
Risa ingat, sewaktu ia melanjutkan studi di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Lombok Barat. Dirinya pernah dipanggil ke ruangan Bimbingan Konseling (BK) oleh guru Agamanya waktu itu.
Baca Juga:Masjid Disegel Satpol PP, Ketua MUI Depok Minta Jemaat Ahmadiyah Segera Bertaubat
"Kalau pas SMK cuman dipanggil ke BK aja sih, ditanya-tanya sama guru," katanya, Kamis (23/12/2021).
Ia dipanggil, kata Risa, ketika sudah duduk di kelas 3 SMK.
"Ditanya syahadatnya apa, kitabnya apa, nabinya siapa, saya jawab sama aja," kata Risa.
Kekeliruan itu yang menurut Risa ingin sekali ia jelaskan. Ihwal anggapan tentang jamaah Ahmadiyah yang sebetulnya tidak benar dan tak berdasar.
"Itu sih, kalok bilang syahadatnya beda, kitabnya beda, padahal kita juga sama kok, kita orang Islam," ujar Risa.
Kini, Risa sudah melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Kota Mataram. Berdasar apa yang ia rasakan, ia merasa lingkungan di perguruan tinggi lebih toleran.
"Kalau di kampus ndak ada apa-apa ya, alhamdulillah saya juga dapat beasiswa," katanya.
Satu pertanyaan yang masih mengganjal di diri Risa, di lokasi pengungsian tempat mayoritas jemaah Ahmadiyah tinggal, terdapat juga jemaah kaum Nasrani. Selama bertahun-tahun, kata Risa, mereka di tempat tersebut hidup berdampingan.
"Di Transito ini juga ada keluarga kita umat Kristen," ucapnya.
"Kita hanya ingin hidup rukun, dengan siapa pun," lanjutnya.
Kontributor : Lalu Muhammad Helmi Akbar