Penjelasan Mengapa Penjor Galungan di Bali Dipasang Pada Saat Penampahan

Pada saat itu masyarakat biasanya nampah atau memotong hewan salah satunya untuk digunakan ngelawar.

Eviera Paramita Sandi
Minggu, 07 November 2021 | 13:00 WIB
Penjelasan Mengapa Penjor Galungan di Bali Dipasang Pada Saat Penampahan
Umat Hindu memasang hiasan janur menjelang Hari Raya Galungan di Kuta, Bali, Senin (19/5). [Antara/Nyoman Budhiana]

SuaraBali.id - Menjelang hari raya Galungan pada (10/11/2021) umat Hindu di Bali kini mulai mempersiapkan segala hal untuk upacara atau persembahyangan di rangkaian hari suci Galungan. Persiapan tersebut diantaranya adalah Penjor.

Namun demikian, Penjor umumnya dipasang saat hari penampahan atau sehari sebelum Galungan. Pada saat itu masyarakat biasanya nampah atau memotong hewan salah satunya untuk digunakan ngelawar.

Namun demikian, saat ini banyak orang yang memasang penjor sebelum penampahan Galungan. Alasannya adalah kesibukan saat penampahan dan  tidak sempat membuat penjor ataupun karena terbatasnya tenaga untuk membuat penjor ini.

Lalu mengapa penjor seharusnya dipasang saat penampahan Galungan?

Menurut Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, penjor atau pering selonjor dibuat dengan satu batang bambu utuh yg masih ada tiga cabang.

"Itu dihias sedemikian rupa dengan keraras atau daun pisang kering, plawa, ada bun atau tumbuhan merambat, kolong-kolong yang terbuat dari janur berbentuk lingkaran, dilengkapi dengan pala bungkah, pala gantung, jaja gina, jaja uli, pisang, 2 butir kelapa dan buah," seperti dilansir beritabali.com - Jaringan Suara.com Minggu (23/12/2018) sore.

Selain itu berisi juga kain (kasa) putih kuning, berhiaskan sampian penjor.

Penjor Galungan ini dipasang saat penampahan Galungan, dikarenakan saat penampahan umat Hindu niyasa kebaikan yang tertanam dalam diri dan keburukan 'dihias' agar menjadi kebaikan.

"Bambu yang lurus niyasa kebaikan dan bagian yang melengkung niyasa keburukan dihias dengan hal yang baik untuk menjadi kebaikan," imbuhnya.

Sementara itu, menurut Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa, penjor ini merupakan lambang Bhatara Mahadewa yang berstana di Gunung Agung atau Bhatara Siwa.

Dalam membuat penjor, adapun sarananya yaitu pala bungkah atau segala jenis umbi-umbian, pala gantung segala jenis yang tergantung seperti buah-buahan, palawija atau biji-bijian, bambu, kasa putih kuning, lamak.

Penjor tersebut ditancapkan di depan pintu masuk saat penampahan sore agar esoknya saat Galungan masih dalam keadaan segar.

"Kenapa perlu kesegaran, karena kita meyakini leluhur datang ke pemerajan dan itu merupakan bentuk penghormatan secara sekala dan alangkah bagusnya warna kuning dan pitih dari janur dan ambu. Selain itu penjor ini juga berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya sehingga apa yang dipersembahkan harus segar," kata Guna.

Selain itu, Guna juga mengatakan makna ambu atau busung yang digunakan dalam penjor dikarenakan warna putih dari ambu dan kuning dari janur agar ada warna galang (terang) saat merayakan kemenangan darma melawan adharma.

Selain itu, ambu yang berwarna putih juga dijadikan sebagai sarana pengingat dahulu oleh Sang Rama saat membedakan antara Subali dan Sugriwa dan dipasang pada ekornya sehingga bisa pula ditafsirkan bahwa ambu ini digunakan sebagai simbul kebenaran karena dengan pasti Rama bisa memanah Subali yang dianggap salah memerangi adiknya sendiri yaitu Sugriwa.

Selain itu penggunaan bambu dalam membuat penjor juga memiliki makna tertentu.

Menurut Guna, secara filosofis bambu dianggap sebagai tumbuhan yang tegak lurus ke ata

s kemudian setelah di puncak merunduk ke bawah yang juga sering diidentikkan dengan pemimpin bahwa kebenaran harus ditancapkan setelah di atas jangan lupa yang di bawah.

"Pada teks lontar Jnana Sidanta, bambu dijadikan metafora untuk kerinduan atman dengan paramatman. Sehingga ada istilah dewa ambara yoga di mana bambu dianggap sebagai tubuh dan udara di dalam bambu disebut atman. Siang dan malam atmam ini mencari jalan keluar agar udara dalam bambu bertemu udara bebas atau mahaudara," kata Guna.

Sehingga bambu digunakan sebagai sarana karena antara udara yang ada di dalam bambu dengan jiwatman yang ada di dalam tubuh manusia dianggap memiliki kesejajaran.(sumber: propinsibali.com)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini