SuaraBali.id - Di Bali, perdagangan budak menjadi sebuah ironi sejarah yang terjadi pada permulaan abad XIX. Perdagangan budak merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi dan membudaya di Bali.
Perekonomian Bali pernah sangat tergantung pada ekspor budak.
Hal ini terungkap dalam artikel berjudul “Dari Perahu Sri Komala Hingga Puputan; Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda 1906” yang dipublikasikan dalamJurnal Sejarah Citra Lekha, volume XVII, nomor 1 tahun 2013. Artikel tersebut ditulis oleh Inna Mirawati dari Arsip Nasional Republik Indonesia.
Pada masa itu Badung merupakan salah satu pusat perdagangan budak sejak berkecamuknya perang di Bali tahun 1650. Nama Badung semakin terkenal ketika seorang pembesar Badung bernama Kiai Jambe Pulo ikut dalam memadamkan pemberontakan di Gelgel tahun 1686.
Badung sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1343 pada waktu Kerajaan Majapahit menduduki Bali. Kabupaten Badung dulunya bernama Nambangan sebelum diganti oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad XVIII.
Pada tahun 1696 Badung yang semula menjadi bagian kerajaan Klungkung, kemudian menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Akan tetapi pada tahun 1700 Badung menjadi bagian kerajaan Mengwi yang muncul sebagai sebuah kerajaan akibat dari semakin lemahnya kerajaan Bali karena adanya pemberontakan. [bbn/ Citra Lekha/mul]