Cerita Hermawan Sulistyo di Malam Bom Bali Meledak, Saat Itu Polisi Belum Punya Pengalaman

Hermawan mengungkapkan, dirinya kerap berada di dekat lokasi terjadinya peledakan bom. Bahkan, ketika Bom Bali I terjadi hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi.

Eviera Paramita Sandi
Kamis, 14 Oktober 2021 | 18:55 WIB
Cerita Hermawan Sulistyo di Malam Bom Bali Meledak, Saat Itu Polisi Belum Punya Pengalaman
Warga berdoa saat peringatan 19 tahun tragedi bom Bali di Monumen Bom Bali, Badung, Bali, Selasa (12/10/2021). [ANTARA FOTO/Fikri Yusuf]

SuaraBali.id - Tragedi Bom Bali menjadi terus menjadi ingatan di Indonesia khususnya Bali terkait ancaman terorisme di Indonesia, 19 tahun peristiwa Bom Bali, apa yang terjadi kala itu diceritakan kembali oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Politik dan Keamanan Negara Hermawan Sulistyo.

Menurut Hermawan, ia tak pernah berpikir akan manfaat setelah 25 tahun belajar soal bom hingga terorisme. Tapi ternyata, ilmu yang didapatkannya tersebut terpakai ketika Bom Bali I terjadi pada 2002.

Hermawan mengungkapkan, dirinya kerap berada di dekat lokasi terjadinya peledakan bom. Bahkan, ketika Bom Bali I terjadi hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi.

"Malamnya bom meledak, hanya 200 meter dari kamar," ungkap Hermawan dalam diskusi virtual, Kamis (14/10/2021).

Hermawan kala itu berada di Bali, karena akan melakukan penelitian soal kondisi polisi yang baru saja lepas dari TNI untuk menjadi institusi sendiri. Tanpa alasan yang berarti, dia memilih Bali sebagai daerah penelitiannya.

Peneliti LIPI Hermawan Sulistyo. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Peneliti LIPI Hermawan Sulistyo. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Ketika penelitian sudah selesai, seharusnya ia berangkat ke kota lain, namun mendadak dibatalkan. Entah mengapa Hermawan ingin menghabiskan waktu sebentar untuk berjemur di sana.

Namun tak disangkanya, keputusannya tersebut ternyata mempertemukan Hermawan dengan Bom Bali I.

Sebelum ada kejadian tersebut, Hermawan sempat memiliki prinsip untuk tidak mencampuri urusan terorisme. Namun ketika melihat Bom Bali I, pemikirannya mendadak berubah.

"Nah, jadi seluruh ilmu yang 20 tahun saya pelajari itu kemudian saya putuskan ini nggak bisa. Ini pertaruhannya bukan hanya bangsa tapi kemanusiaan. Karena kalau salah penanganan, Indonesia ambruk pasti," ujarnya.

Kala itu, kata Hermawan, belum ada Densus 88. Tim yang mengurusi soal bom itu hanya ada di Mabes Polri dan Polda Metro Jaya.

Sehingga pada saat itu, kondisi polisi tidak memiliki pengalaman untuk menangani bom dan juga tidak memiliki anggaran. Hermawan tidak memungkiri banyak anggota polisi yang secara sukarela datang ke Bali untuk membantu namun tidak ingin dianggap secara resmi.

Sampai pada akhirnya, Kapolri mengeluarkan surat keputusan terkait tim yang harus melakukan penanganan. Lantaran tidak memiliki anggaran, anggota polisi yang ditugaskan malah sulit bekerja.

Waktu itu, anggota polisi hanya bisa menggunakan ponsel dua hari saja, karena tidak memiliki pulsa. Hal serupa juga terjadi pada kendaraan yang digunakan.

"Sementara sepeda motor, tidak bisa jalan setelah dua hari juga karena enggak ada bensin," ucapnya.

Akhirnya, Hermawan mengambil inisiatif dengan meminta kepada suatu perusahaan untuk membantu anggaran investigasinya. Ia berhasil mendapatkan Rp 100 juta kali itu.

Ia juga mencoba meminta direktur utama XL untuk menyumbangkan pulsa bagi tim investigasi.

"Itulah awal mula modal untuk investigasi polisi."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak