SuaraBali.id - Patut bisa berbangga hati dengan keberadaan Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali yang terkenal dengan julukan desa terbersih di dunia.
Kerap menjadi tujuan wisata, Desa Penglipuran memiliki udara perdesaan segar, asri, dan tanpa sampah.
Tidak hanya itu, desa ini sangat menjunjung kesetaraan gender. Baik lelaki maupun perempuan, bekerja sama dalam membangun perekonomian keluarga.
Astri Widyani, salah satu penduduk Desa Panglipuran juga bekerja membuat canang sesajen untuk dijual, demi membantu suaminya yang bekerja sebagai guru honorer.
Baca Juga:5 Rekomendasi Tempat Resepsi Pernikahan di Bali, Dijamin Tak Terlupakan Seumur Hidup
"Saat pandemi Covid-19 enggak bisa ngapa-ngapain, di rumah aja tapi dapur harus tetap ngebul. Jadi saya bikin canang, ada yang masih bisa ke ladang ya kembali ke ladang," kata Astri dilansir laman Antara, Senin (28/6/2021).
Sebelum pandemi, desa tersebut memang bertumpu pada pariwisata dan penjualan oleh-oleh khas Desa Panglipuran.
Di desa tersebut, menurut Asri, hampir 80 persen penduduknya berjualan, kemudian bekerja di bidang pariwisata maupun menjadi pegawai negeri sipil.
"Selama pandemi 'nggak bisa dipungkiri warga sini mayoritas berjualan, jadi dari sini aja. Ada orang sini yang juga jadi pegawai negeri, pokoknya berasa banget pas pandemi," katanya.
Kehidupan mereka kembali normal perlahan saat di bulan Desember 2020, Desa Penglipuran kembali dibuka untuk wisatawan dengan protokol kesehatan Covid-19 ketat.
Baca Juga:Wisata Bali: Menunggu Pintu Wisman Dibuka, Pulau Dewata Perlu Kembali Hidup
Karang Memadu
Tidak banyak yang tahu, di desa tersebut memiliki aturan adat, yakni dilarang melakukan poligami maupun poliandri.
Desa tersebut memiliki satu tempat tersendiri, yakni Karang Memadu, sebuah tempat pengucilan di desa tersebut bagi pelaksana poligami dan poliandri.
Tempat tersebut berada khusus di bawah kaki Desa Penglipuran.
"Pertama, di sini ada orang tua kami, leluhur kami menyampaikan bahwa kalau mau hidup rukun dalam satu keluarga, cukup satu istri satu suami sepasang," kata Ketua Pelaksana Wisata Desa Penglipuran, Nengah Moneng.
Selanjutnya untuk emansipasi, dia menambahkan, atau katakanlah menghargai hak asasi, yaitu kesetaraan gender.
Nengah mengatakan, hal tersebut disepakati anggota adat itu sendiri dan menjadi awig-awig (tata krama).
Ada tiga level penduduk di dalam Desa Penglipuran yakni krama (warga) desa adat, krama tamu, dan tamu. Aturan tersebut hanya mengikat pada krama desa adat meski domisilinya telah di luar desa.
"Itu akan tetap terikat. Kami juga punya keluarga di Yogyakarta, Jakarta, selama dirinya masih terikat sebagai anggota krama, kita pertahankan terus," kata Nengah.
Jumlah penduduk di Desa Penglibpuran kurang lebih 1.111 jiwa, dengan jumlah antara perempuan dan lelaki hampir seimbang.
"Perempuan atau laki-laki harus berkolaborasi di rumah tangganya masing-masing dan menjaga kehidupan yang primer," katanya.
Layak perempuan dan anak
Di Kabupaten Bangli sendiri kini tengah berupaya mewujudkan kabupaten layak anak dan perempuan.
Di samping itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bangli, I Wayan Jimat menilai Desa Penglipuran dapat menjadi Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Hal ini dicanangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
"Peran desa sangat signifikan di dalam melaksanakan program-program kami di pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satu contohnya di sini ada yang namanya Karang Memadu," katanya.
Diharapkan Desa Penglipuran menjadi contoh bagi daerah lainnya untuk menjadikan Negara Indonesia meminimalisasi korban budaya patriarki, serta mengurangi korban kekerasan yang seringkali dialami perempuan dan anak, terlebih di masa pandemi Covid-19.