SuaraBali.id - Tradisi Bali dikenal unik dan berbeda dengan daerah lain. Bali dikenal dengan ragam kebudayaan. Budaya dan tradisi Bali ternyata ada yang nilai ekstrem.
Dalam menjaga dan mempertahankan identitas sukunya, Suku Bali hingga kini masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang suku Bali, yang tentu sangat menarik bagi suku atau bangsa lain melihat hal tersebut.
Di Bali ada tradisi Bali ekstrem yang cukup mengherankan, bahkan tak masuk diakal untuk masyarakat masa kini.
Baca Juga:Lorens Parera, Pria Papua Bunuh Bule Andriana Simeonova di Bali Dituntut 20 Tahun Penjara
Ngurek berasal dari kata 'urek' yangberarti lubangi atau tusuk, sehingga Ngurek dapat diartikan sebagai usaha melubangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan senjata biasanya adalah keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Tradisi Ngurek juga dikenal dengan istilah Ngunying.
Tujuan dalam ritual keagamaan ini adalah sebagai wujud nyata dari pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa, selain itu juga merupakan sebuah implementasi tradisi yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit pada zaman kerajaan.
Sang raja ingin membuat pesta yang bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta sekaligus menyenangkan hati prajuritnya.
Anehnya orang yang telah melakukan Ngurek ini tak merasakan kesakitan, dengan pantangan tak bleh ujub atau sombong. Dipercaya kekebalan yang didapat ini karena adanya "bantuan gaib".
Sebagian besar masyarakat Bali kerap melaksanakan tradisi ini.
Baca Juga:Depresi, Maria Goretti Bunuh Diri Lompat ke Jurang Pantai Sunset Point Uluwatu
Gebug Ende terdapat di desa Seraya Kecamatan Karangasem, Gebug Ende juga disebut dengan perang rotan.
Tradisi ini biasanya dimainkan saat memasuki musim kemarau hingga berlangsungnya musim kemarau. Secara geografis desa Seraya memiliki tanah yang tandus apalagi pada musim kemarau, sehingga dilakukan tradisi Gebug Ende untuk memohon hujan.
Pemain Gebug Ende akan memukulkan rotan pada tubuh lawan secara berulang kali.
Meskipun tubuhnya terekana pukulan rotan, mereka merasa gembira saling menari-nari kegirangan.
Dalam pelaksanaan ritual ini pemain memiliki senjatta berupa rotan dengan pajang sekitar satu meter, dengan alat penangkis sebuah perisai tengah 60 cm terbuat dari lapisan kulit sapo kering yang terikat pada bingkai kayu.
Masyarakat yakin apabila pemain Gebung Ende sampai mengeluarkan darah , dipercaya hujan akan segera turun
3. Tradisi Mesbes Bangke
Dalam bahasa Bali Kata Mesbes berarti mencabik, menyobek, merobek dengan menggunakan kuku dan jari tangan.
Sedangkan Bangke memiliki arti badan yang tidak berjiwa.
Secara keseluruhan kata Mesbes Bangke berarti mencabik atau merobek dengan menggunakan kuku jari tangan terhadap mayat orang yang meninggal. Tradisi ini lahirkaren apadazaman dahulu tak ada formalin untuk mengawetkan mayat, kemudian untuk menghilangkan baunya masyarakat memiliki ide untu mencabik-cabik mayat tersebut.
Tradidi Mesbes Bangke hanya boleh dilakukan masyarakat sekitar kediaman yang berduka dan merupakan masyrakat asli desa adat Buruan, Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Di mana jenazah akan di arak keluar dan para pencabik mayat di luar pekarangan bersiap untuk mencabik mayat tersebut, para pencabik mayat ini berada dalam keadaan setengah kerasukan.
Namun Mesbes Bangke saat ini sudah tak se ekstrem zaman zaman sebelumnya, saat ini dalam prosesi Mesbes Bangke mayat dilapisi dengan banyak pembungkus, diantaranya tikar, bambu, kain yang diikat rantai selebar 5 cm serta dibungkus lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.
Sehingga tubuh mayat yang sudah tertutup dan pemandangan daging dicabik tidak terlihat lagi.
Serupa dengan tradisi di Bali lainnya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali, yaitu Tradisi Ngerebong. Dalam bahasa Bali Ngerebong memiliki arti berkumpul.
Saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para Dewa sedang berkumpul.
Pusat diadakan tradisi ini berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman dan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dunia.
Tradisi Ngerebong dilakukan setiap enam bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali.
Dalam tradisi ini semua Mangku Pepatih ikut terlibat. Dalam tradis ini sejumlah pamedek trance atau kesurupan dengan memasukkan keris ke tubuhnya, bahkan ada yang menusukkan ke matanya.
5. Terteran
Terteran berarti lempar-lemparan dengan menggunakan sarana api, pijar atau sinar sarana api yang dilempar maka disebutlah terteran.
Dalam tradisi ini terjadi peristiwa melepar sundih, benda sejenis obor yang terbuat dari daun kelapa kering yang diikat ikat.
Konon dengan dibakarnya sundih dapat mengusir Bhuta Kala agar pergi dari lingkungan desa Pakraman dan kembali ke tempat masing-masing. Untuk menjaga api tetap menyala, maka dilakukan ter-teran atau terteran oleh sesama krama atau warga desa Pakraman Jasri.
Tradisi ini dilakukan setiap dua tahun sekali pada saat angka tahun masehi berangka ganjil, yang dilakukan sebelum hari raya Nyepi.
Kontributor : Kiki Oktaliani