SuaraBali.id - Dalam menyambut Hari Raya Galungan, dibutuhkan sarana pelengkap upakara. Antara lain adalah hasil panen kebun yang melimpah. Untuk itu, sebelum perayaan ini dilakukan seremoni Tumpek Uduh.
Dikutip dari BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, setiap enam bulan sekali, yaitu 25 hari menjelang Hari Raya Galungan pada penanggalan tradisional Saniscara Kliwon Wuku Wariga, sebagian besar warga Bali yang memiliki kebun melaksanakan ritual "Ngatag".
Seperti yang dilakukan salah seorang warga asal Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Ni Wayan Wage (70) pada pekan lalu.
Mulai pagi, di hari yang disebut Tumpek Pengatag, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh ini, ia mulai berkeliling di kebun miliknya dan menghampiri setiap pohon yang ada seperti salak, pisang, kelapa, pepaya, manggis, dan lainnya, sembari membawa beberapa perlengkapan ritual seperti, canang, "tipat taluh", "samsam segau", jajan kelepon hingga sabit.
Baca Juga:Wisata Bali: Desa Bongkasa Pertiwi Tawarkan Wisata Alam, Lokasi Dekat Ubud
"Ini semua perlengkapan untuk dipakai Ngatag, doanya agar pohonnya berbuah lebat sehingga bisa dipakai saat Hari Raya Galungan nanti," tutur Wage dalam Bahasa Bali yang sudah diterjemahkan.
Saat melaksanakan ritual, pohon yang sebelumnya sudah diikatkan ambu (daun aren muda), akan dihaturkan canang beserta beberapa sarana lainnya seperti tipat taluh hingga samsam segau, kemudian pohon dipukul-pukul menggunakan punggung sabit, sambil mengucapkan kata, "Kaki-kaki Galungan bin selae, nged… nged… nged…," dilanjutkan dengan melemparkan jajan kelepon ke arah atas.
Meski belum diketahui secara pasti tentang makna dari kata-kata itu, namun warga meyakininya sebagai ungkapan rasa syukur dan juga sebagai doa kepada Tuhan agar nanti saat menjelang hari raya Galungan hasil panen kebun melimpah dan bisa dipergunakan sebagai sarana pelengkap upakara yang dibuat saat Hari Raya Galungan.