SuaraBali.id - Gubernur Bali, I Wayan Koster belakangan ini terus menggaungkan Gerakan Bali Bersih Sampah.
Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 9 tahun 2025, dia meminta semua pihak untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber dan melarang penggunaan plastik sekali pakai.
Gerakan Bali Bersih Sampah ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup No 03 Tahun 2025.
Sebagaimana diketahui dalam rangkat Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2025 mendatang, Kementerian Lingkungan Hidup (KemenLH) telah menetapkan tema “Hentikan Polusi Plastik”.
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq juga mengimbau kepala daerah menyusun peraturan atau kebijakan pengurangan sampah plastik di rumah tangga, ruang publik, kantor pemerintah, sekolah, hotel, restoran, pasar dan tempat wisata.
Sedangkan dalam penerapannya di Bali, Koster pun akhirnya mengeluarkan SE tersebut dan mematok pembatasan pemakaian plastik sekali pakai yang harus sudah dilaksanakan sejak SE ditetapkan selambatnya pada 1 Januari 2026.
Selain itu, Koster juga dengan tegas melarang produksi dan distribusi Air Minum dalam Kemasan (AMDK) ukuran di bawah 1 liter. Semua, dari level atas hingga bawah, tanpa kecuali, diminta untuk mengikuti SE itu.
Namun sayangnya belum ada solusi konkrit yang diberikan pemerintah terkait larangan ini.
Kebijakan ini pun sarat kontroversi karena berpotensi merugikan berbagai pihak salah satunya UMKM yang saat ini mau tidak mau masih bergantung pada plastik sekali pakai dan AMDK di bawah 1 liter.
Baca Juga: Koster Geram, Usaha di Bali Didominasi WNA Dan Bahayakan Warga Lokal
Kebijakan Berpotensi Mematikan UMKM
Sebelum SE nomor 9 diterbitkan, sesungguhnya masyarakat juga telah bergerak dalam pengelolaan dan pengolahan sampah.
Di antaranya Rumah Plastik Mandiri di Buleleng dan Bali Wastu Lestari di Denpasar.
Direktur Rumah Plastik Mandiri, Putu Eka Darmawan menyampaikan telah memulai usahanya sejak 2016.
Eka tidak hanya melakukan pengelolaan sampah, tetapi juga mengolahnya hingga menjadi barang yang lebih bernilai.
“Rumah Plastik ini sebenarnya didirikan murni keinginan berbisnis setelah selesai kerja di kapal pesiar. Bukan untuk sosial,” ujar Eka, Selasa (3/6/2025).
Namun seiring berjalannya waktu, dia melihat bahwa apa yang ditekuninya bukan semata untuk ekonomi. Namun di dalamnya juga ada nilai-nilai sosial.
“Saya melihat keuntungan double. Untung uang iya, untuk karma juga ada. Tahun 2016, belajar autodidak, karena ilmu daur ulang ini tidak tersebar dengan bagus," ungkapnya.
Sebelum memilih jalan ini, Eka sempat mencoba berbagai ide usaha.
“Saya berpikir, usaha itu semakin bertumbuh, pasti semakin perlu banyak suplai material. Bagaimana jika didapat dari sampah?”
Berulang kali Eka mencoba dan melakukan berbagai kesalahan. Sudah tak terhitung kerugian yang dialaminya.
Ketika hanya mengumpulkan sampah dan mengirim, tanpa diolah, dia kerap dipermainkan. Marginpun terbilang sangat kecil.
Agar bisa terus bertahan, mendapat nilai tambah yang lebih dan memberikan gaji yang layak kepada stafnya, akhirnya dia berinovasi dengan cacah.
Eka melakukan trial and error sampai berkali-kali. Kini hasil cacahan dalam sebulan maksimal mencapai 50 ton.
“Pertama kali bahkan dapat tawaran ke China. Namun tidak lama karena kalah modal. Akhirnya bermain di pasar Indonesia saja. Sebagian besar dikirim ke Pulau Jawa,” ujarnya.
Dalam satu bulan, dia mengirim dua kali. Setiap kali mengirim berkisar antara 15 sampai 30 ton.
Dia membeberkan, harga di pabrik juga tidak stabil. Kecuali dia mampu mengirimkan dalam jumlah besar yakni minimal 500 ton per bulan, barulah bisa dikeluarkan kontrak dan harga jadi lebih terjaga.
“Kita tidak membuat produk. Hanya membuat material, semacam pengganti kayu. Jadi plastik dilebur, dibuatkan papan. Saat di awal, memang berjuang di riset dan development. Uang banyak terbakar di sana. Investasi mencapai Rp 8 miliar,” ujarnya.
Bercermin dari pengalamannya selama ini, dengan adanya SE nomor 9, Eka mengakui bahwa peraturan itu bagus. Namun ada yang perlu dievaluasi kembali, yakni terkait AMDK.
“Dengan adanya SE ini mungkin usaha saya akan tambah maju karena saat desa dipaksa mengolah sampah, pasti perlu partner. Setelah mereka mengumpulkan, tentu perlu partner daur ulang. Tapi yang bermasalah dari SE ini adalah AMDK. Efeknya ke UMKM, ada yang menjadi distributor. Jadi perlu pikirkan soal karyawan, usaha mereka,” tegasnya.
Menurutnya, kemungkinan efek ke depan adalah banyak bisnis yang tidak jalan, ada PHK, sehingga harus dicari solusi yang tepat.
“Barang itu (AMDK ukuran di bawah 1 liter) juga yang paling diincar untuk didaur ulang karena nilainya paling tinggi dan stabil. Jadi jika dipilah saja dan dibawa ke pengepul, sudah selesai urusan (sampah).”
Rata-rata pemulung dan pengepul menyasar barang yang punya nilai tinggi.
Mereka menggunakan pendekatan nilai. Mereka yang bekerja dengan cara seperti itu pun biasanya tidak menerima jaminan kesehatan.
Kebijakan Tak Lengkap Dan Minim Fasilitas
Hal serupa disampaikan oleh Ni Wayan Riawati, yang saat ini memimpin Yayasan Bali Wastu Lestari di Denpasar.
Dia menilai, jika pemerintah membatasi penggunaan plastik sekali pakai saja, sesungguhnya kebijakan tersebut kurang lengkap.
“Bukan hanya plastik, tapi semua yang single use dilarang. Sekarang kan banyak yang menggunakan paper cup. Itu justru sulit untuk didaur ulang,” terangnya.
Ria mengakui banyak yang bertanya padanya apakah dengan peraturan ini dia merugi? Sebab kemungkinan pemenuhan bahan bakunya akan terganggu.
“Pada dasarnya kami senang karena sampah berkurang karena ini gerakan gotong royong. Bank Sampah gerakannya mengacu pada regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan 3R.”
Dalam menjalankan Bank Sampah ini, Ria selalu menekankan bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah pengurangan.
Prinsipnya bagaimana sampahku adalah tanggung jawabku dan semua berperan dalam mengurangi emisi karbon.
“Jadi kebijakan ini kurang lengkap. Kami di praktisi pengumpulan sampah, jenis PET, kemasan botol plastik, tingkat daur ulang paling tinggi dan paling mahal. Adapun harga PET yang dalam keadaan utuh, Rp 3.000 per kilogram.
Kehadiran bank sampah berbasis masyarakat ini diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat.
Mereka menerima dari masyarakat, termasuk bank sampah unit di banjar-banjar.
Total ada 16 Bank Sampah Induk yang dia koordinir dan semuanya mandiri.
Sebagaimana awal mula semangat pendirian bank sampah ini oleh sang ayah, I Made Mariana, yakni menciptakan lingkungan yang bersih, sampai sekarang pun Ria selalu mengedepankan edukasi.
Sehingga semangat ini bisa ditularkan ke lebih banyak orang.
“Setelah lama berkecimpung, sebenarnya masyarakat mau memilih sampah. Tapi perlu dilengkapi dengan fasilitas. Itu harus siap. Apabila tidak ada fasilitas, maka kesadarannya percuma,” tegasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
5 SUV Paling Laris Akhir 2025: Dari Hybrid Canggih Sampai Harganya 200 Jutaan
-
7 Jenis Heels Populer Bikin Kakimu Jenjang dan Elegan
-
5 Maskara Andalan Bikin Mata Hidup Maksimal
-
Eropa Kekurangan Tenaga Produktif, Ini Syarat Agar Anda Bisa Jadi Pekerja Migran
-
Santunan dan Pemulangan Jenazah WNI Korban Kebakaran Hongkong Ditanggung Pemerintah