Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Kamis, 10 April 2025 | 12:26 WIB
Dua warga Bali yang jadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar [Tangkap Layar @jegbali]

SuaraBali.id - Dua warga asal Kabupaten Buleleng, Bali ini mengaku menjadi korban perdagangan orang di Myanmar.

Kedua warga Bali tersebut adalah pria bernama Nengah Sunario dan Kadek Agus Aryawan menceritakan kisah pahitnya ketika berniat mengubah nasib namun justru terjebak menjadi penipu di Myanmar.

Dengan iming-iming gaji hingga Rp 15 juta, Agus dan Nengah tanpa pikir panjang setuju untuk pergi ke luar negeri sesuai tawaran tetangganya.

Siapa sangka, tawaran bekerja di luar negeri itu justru membawa Agus dan Nengah jatuh ke dalam lubang mengerikan bak neraka di dunia.

Baca Juga: Di Balik Kisah Mistis Dan Pilu Jembatan Tukad Bangkung, Begini Suasana di Bawahnya

Baik Agus dan Nengah awalnya tidak bersedia menerima tawaran tetangganya itu, lantaran mereka tidak memiliki keterampilan sebagai seorang admin.

Agus dan Nengah bersedia bekerja bila berurusan dengan dunia pariwisata, seperti bekerja di restoran dan semacamnya.

Alhasil, tak kehilangan akal, si tersangka ini menawarkan bekerja di restoran sama seperti keahlian yang dimiliki Agus dan Nengah.

Meskipun banyak kecurigaan mulai awal keberangkatan mereka, namun baik Agus dan Nengah tetap positif thinking dan mengesampingkan kecurigaannya itu.

Keduanya berniat ingin mengubah nasib dengan bekerja di negeri tetangga, lantaran gajinya yang cukup menggiurkan.

Baca Juga: Nyaris Kehilangan Jessica Iskandar, Vincent Verhaag Ngaku Siap Gantikan Nyawanya

Rupanya, kecurigaan Agus mulai terbukti ketika mereka menghabiskan belasan jam di perjalanan dan tak kunjung sampai di perusahaan tempatnya bekerja.

Sayangnya, Agus dan Nengah tidak bisa berbuat banyak.

Mereka sudah terlanjur masuk ke dalam perangkap, bahkan orang-orang yang dihadapinya di sana hampir semuanya bersenjata.

Agus dan Nengah pun mengikuti alur mereka. Rupanya, keduanya dipekerjakan sebagai admin sejenis Judi Online.

Mirisnya, mereka bekerja di bawah tekanan yang menakutkan.

Jika dalam sehari mereka tidak bisa mendapatkan target, maka akan dihukum habis-habisan.

“Setiap bulan kita itu harus bisa menghasilkan (cari korban), ditarget harus sekian. Misal nggak mencapai target itu, ya tanggung sendiri risikonya,” aku Agus, dikutip dari youtube Jeg Bali, Kamis (10/4/25).

“Ada hukumannya, ada pemukulan, ada olahraga juga tapi nggak normal kayak disuruh lari selama 4 jam tanpa berhenti. Misal dalam 4 jam itu kita berhenti, langsung ditandai nanti sampai di kantor nerima hukuman disetrum atau dipukul,” tambahnya.

Siksaan itu seakan selalu membayangi mimpi mereka. Bahkan, ketika menjelang malam, keduanya hanya berfikir apakah besok masih hidup kembali.

“Semua pernah disetrum pakai alat setrum, dipukulin. Langsung ditempel alatnya paling sebentar 10 menit, langsung ke otak rasanya,” ucap Agus.

“Kita ini dari jam 4 sore kerja, nanti sudah jam 1 jam 2 malam baru kita kepikiran gak karuan. Apakah kita selamat nggak, apa kita bisa tetap hidup apa nggak,” sambungnya.

Setiap hari mereka dituntut harus ada penarikan uang dari korban yang disebutnya sebagai customer.

Apabila dalam sehari saja kosong dan tidak ada penarikan dari korban, maka hukuman menakutkan itu menghampiri mereka.

“Setiap hari harus ada penarikan dari customer (korban). Pernah sehari kosong nggak ada penarikan, paling ringan dipukul pakai kabel putih besar dilipat gitu kayak kayu, yang dipukul pantatnya, pukul burit di sana namanya, 50 kali bisa lebih juga,” akunya.

“Jadi kita di sana itu disiksa, bener-bener udah dijatuhin mental kita. Muka udah babak belur, badan lebam-lebam semua. Dari situ saya mikir mengikuti permainan mereka untuk jaga badan juga, karena kalau tidak diikuti saya akan mati. Sekuat-kuatnya orang, sepreman-premannya orang, setiap hari kena siksaan gitu siapa kuat,” urainya.

Nengah mengakui bahwa mereka secara sengaja sudah dijual menjadi budak Cina.

 Sehingga apapun yang dilakukan oleh bosnya adalah hak penuh mereka.

“Jadi kita di sana kan udah jadi budak Cina, udah dijual sama dia. Mau disuruh apa aja, mau dipukul mau disetrum ya terserah dia, karena kita udah dijual,” ucap Nengah.

“Pantat ini udah nggak biru lebam lagi, tapi hitam karena darahnya berhenti. Kita kerja di sana selama 8 bulan, digaji enggak, tapi disiksa iya,” tambah Agus.

Sementara itu soal gaji, Agus dan Nengah mengakui jika selama 8 bulan mereka bekerja di sana tidak menerima gaji.

Pasalnya, mereka mengakui tidak pernah bisa mencapai target sehingga hanya hukuman yang mereka dapat dan bukan gaji.

Mereka mengakui hanya pernah mencapai target sebanyak 1 Miliar dalam satu bulan.

Sementara itu, target dari perusahaan paling sedikit sebesar 3,5 Miliar dalam satu bulan.

“Kalau kita ada target memenuhi target ya dapat gaji, tapi kalau kita nggak dapat target ya nggak dapat gaji justru dipukul disiksa aja,” ungkap Agus.

“Orang Indonesia di sana tim kita itu selama 8 bulan nggak ada yang bisa dapat target. Karena besar di sana targetnya sampai 3,5 M. 1 bulan paling sedikit harus bisa mencapai 3,5 M, di bawah itu kena hukuman. Kita rata-rata bisanya cuman sampai 1 M, karena susah banget,” tambahnya.

Kontributor : Kanita

Load More