SuaraBali.id - Pengelolaan sampah di Bali menjadi masalah yang belum ditemukan solusi terbaiknya. Namun, dari sebuah tempat yang luasnya hanya sekitar 1 are di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar, Bali, tercium usaha pekerja keras yang berniat untuk mencari solusi mengatasi masalah sampah tersebut
Jika dilihat dari luar, tempat tersebut menyatu dengan permukiman di sekitarnya. Tapi di dalamnya, terdapat pemandangan yang tak biasa ditemukan orang kebanyakan.
Tempat yang tidak begitu ramai, namun beragam aktivitas dilakukan sekitar empat orang di dalamnya. Ada yang duduk sambil mengikis telur Lalat Tentara Hitam (BSF) hasil budidaya, ada juga yang membubuhkan sesuatu yang menggeliat ke tumpukan wadah, hingga memindahkan sejumlah ember berisikan sampah makanan. Sesekali, juga ada yang mendatangi tempat itu dengan membawa sejumlah sampah.
Pemandangan seperti itu yang menjadi aktivitas sehari-hari di Magi Farm, tempat yang menjadi pembudidayaan Maggot BSF yang digunakan untuk melakukan pengolahan terhadap sampah makanan.
Baca Juga: Bali United Kembali Imbang Dengan PSS Sleman, Ini Alasan Teco
Magi Farm didirikan bersama oleh I Putu Soma Rolandwika (27) dan Ni Nyoman Rida Bimastini (29). Saat ini, Magi Farm sudah mampu mengolah hingga berton-ton sampah makanan dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, titik itu bisa dicapai karena perjuangan ekstra keras yang Soma dan Ima, nama panggilan mereka, lakukan sejak empat tahun yang lalu.
Ide mereka untuk mendirikan Magi Farm berawal dari kesadaran mereka untuk mengolah sampah yang mereka hasilkan di rumah setiap hari. Apalagi setelah mereka tahu jika dari semua sampah organik yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), volume yang cukup besar adalah berupa sampah makanan. Mencari solusi hal itu mengarahkan mereka untuk melakukan berbagai eksperimen.
Soma sempat mencoba menggunakan bakteri kompos untuk mengatasi masalah itu. Namun, menurutnya metode composting itu tidak dapat bekerja cepat dalam satu hari. Tidak sebanding dengan sampah makanan yang dihasilkannya setiap hari.
Sampai akhirnya saat masa pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu, mereka mendengar tren untuk membudidayakan maggot BSF. Maggot yang merupakan larva lalat BSF itu juga bisa memakan sisa-sisa makanan tanpa tersisa.
“Waktu itu lagi Covid kan memang ngetren (budidaya) maggot di Bali. Waktu itu langsung coba satu box, dua box, dan seru kita melihatnya (memakan sampah),” ujar Soma saat ditemui di lokasi.
Baca Juga: Pasutri Asal Thailand Hendak Selundupkan Ekstasi 1,5 kilogram ke Bali
Selain seru untuk melihat ribuan maggot itu mengonsumsi sampah makanan, Soma juga mendapat satu penilaian penting yakni kecepatan, sesuatu yang diharapkannya. Hanya dalam setengah hari, sampah-sampahnya saat itu sudah habis dilahap maggot. Dari pengamatannya, seekor maggot memang dapat melahap sampah sampai dua kali berat badannya dalam sehari.
Niat Kerja Kasar
Eksperimen mereka masih berlangsung lama sebelum akhirnya baru bisa benar-benar berbisnis pada tahun 2023. Dengan niat mereka, ‘kerja kasar’ dengan mengangkut sampah dari pedagang buah hingga mengangkut sisa makanan dari hotel-hotel mereka lakukan tanpa memungut biaya. Semua itu demi memperoleh buah dari percobaan yang mereka kembangkan itu.
“Kita coba untuk angkut-angkut dari dagang buah, yang penting misinya mengolah sampah, kita angkut for free (gratis),” ucap Ima sambil mengingat memori perjuangannya itu.
Berbagai pengalaman saat masa itu masih diingat betul oleh mereka. Ima menceritakan bagaimana mereka harus mengangkut banyaknya sampah makanan yang kebanyakan bersifat basah dari hotel-hotel. Hingga terkadang wadah mereka sampai sobek dan sampah angkutan mereka berserakan di hotel dan mereka harus membersihkannya kembali.
Selain itu, orangtua Ima juga sampai heran melihat anaknya bekerja dengan memunguti sampah makanan sisa saat itu.
“Kita rasain pernah kreseknya bocor, jatuh, kita harus bersih-bersih di hotel, itu zaman-zaman susah sih,” imbuhnya.
Setelahnya, Soma berkesempatan mendapatkan pendanaan hingga pembekalan untuk bisnisnya itu. Sehingga, pada tahun 2022 lalu pengembangan terus berjalan sembari laki-laki asal Klungkung itu memperdalam pengetahuannya untuk mengembangkan bisnisnya ke depan. Sampai akhirnya saat mereka sepakat untuk membentuk bisnis berupa jasa pengolahan sampah makanan pada tahun 2023. Sebuah langkah berbeda dari peternak maggot lainnya yang beternak maggot untuk dijadikan pakan ternak.
“Kalau dulu sebagian besar peternak maggot yang muncul fokusnya memproduksi maggotnya untuk jadi pakan ternak,” ujar Ima.
“Makanya kita ganti business model tidak sama dengan peternak maggot lainnya, tapi kita branding sebagai bisnis mengolah sampah makanan makanan,” imbuh perempuan asal Buleleng itu.
Mereka memberikan pelayanan pengangkutan sampah makanan untuk diolah di Magi Farm. Selain itu, Magi Farm juga bisa memberikan sekotak maggot siap kerja atau yang mereka sebut ‘Magi Kit’ kepada pelanggan sehingga mereka dapat mengolah sampahnya ke sana.
Hingga kini, mereka sukses mendapatkan pelanggan sekitar 70 rumah tangga dari Ubud hingga Nusa Dua. Selain itu, mereka juga mengolah sampah makanan dari sekitar 30 hotel dan restoran di Bali.
Hanya dalam sehari, mereka bisa mengangkut sampai 300 kilogram sampah makanan di lokasi. Proses budidaya maggot dari berbentuk telur hingga indukan Lalat BSF juga berlangsung di sana.
Selain itu, proses budidaya dan pengolahan sampah itu juga menghasilkan produk lain seperti pupuk organik hingga pakan ternak. Ada sekitar 300-600 kilogram pupuk yang dihasilkan dari kotoran maggot yang nantinya juga dibagikan kepada pelanggan mereka setiap bulannya. Mereka juga terus mengembangkan produk lain seperti pakan ternak yang berasal dari maggot.
Baru setahun sejak mereka mulai berbisnis, namun kini mereka sudah dapat mempekerjakan tujuh orang pada bagian operasional serta staf media sosial.
Tanpa Efek Samping
Sementara itu, dari pandangan Putu Arya Wigita, pengolahan sampah dengan Maggot BSF memang tidak memiliki efek samping terhadap lingkungan, berbeda jika sampah itu hanya dibuang di TPA.
Arya adalah seorang Analis Senior di Solutions Lab Kopernik, sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial dan lingkungan. Arya melalui Kopernik juga sudah tiga kali melakukan penelitian terhadap Maggot BSF dan dampaknya bagi lingkungan.
“Sejauh kami melakukan riset tentang BSF, belum kami lihat sama sekali ada efek samping,” ujar Arya.
Hanya saja, Arya menilai perkembangan maggot yang belum masif di Bali dan Indonesia salah satunya disebabkan karena faktor biaya. Mengolah sampah makanan dengan maggot memang memerlukan biaya lebih ketimbang metode konvensional yang dilakukan selama ini.
Namun demikian, jika dikembangkan lebih besar lagi, biaya pengolahan sampah dengan Maggot sejatinya juga dapat ditekan.
“Akan sangat mahal untuk memproduksi BSF dan produk turunan akhirnya. Tapi kalau kita buat dalam skala besar, pasti biayanya akan turun, dari sisi bisnis itu akan menguntungkan,” tuturnya.
Sejalan dengan yang telah dilakukan Magi Farm, Arya juga menilai jika salah satu cara untuk mengembangkan BSF di Bali adalah melalui sektor pariwisata di Bali.
Dengan melakukan hal itu, perlahan dia menilai dapat semakin memperluas pengetahuan masyarakat tentang pengolahan sampah dengan Maggot BSF.
“Kalau seandainya industri BSF punya skala yang cukup dan bisa menyadarkan pemain-pemain di industri perhotelan dan lainnya bisa skalanya semakin besar, bisnisnya lebih efisien dan kompetitif,” imbuhnya.
Misi itu juga yang terus digencarkan oleh Soma dan Ima. Melalui media sosial Magi Farm, mereka berupaya memperluas pengetahuan terhadap pengolahan sampah selain hanya menawarkan jasa mereka.
Menurut mereka masih banyak pola pikir yang perlu dibenahi mengenai penglolaan sampah. Mulai dari pemikiran masyarakat jika pemilahan sampah merupakan tugas dari petugas kebersihan, hingga keengganan untuk mengeluarkan biaya untuk menggunakan jasa pengolahan sampah. Termasuk juga dengan peran pemerintah untuk membantu masyarakat agar dapat membantu masyarakat mengolah sampahnya.
“Kita mencoba membawa isu sampah itu lebih menyenangkan, bukan yang serius dan membuat orang khawatir dan mengancam,” tandas Soma.
“Sampah itu masalah semua orang, memang harus ada biayanya mengolah sampah. Kalau nggak dari masyarakat, mungkin dari pemerintah yang subsidi,” tutup Ima.
Kontributor : Putu Yonata Udawananda
Berita Terkait
-
Jadwal Persib Kontra Bali United Resmi Ditunda
-
Etika Menjaga Kelestarian Destinasi Alam
-
Jokowi Direncanakan Akan Datang ke Bali Demi Kampanyekan Mulia-PAS, Megawati Tidak
-
Menikmati Liburan Tenang dan Berkelanjutan: Ini 4 Rekomendasi Akomodasi Ramah Lingkungan di Lombok
-
LPKR Alihkan 3.200 Ton Sampah, Perkuat Inisiatif 3R
Terpopuler
- Kejanggalan LHKPN Andika Perkasa: Harta Tembus Rp198 M, Harga Rumah di Amerika Disebut Tak Masuk Akal
- Marc Klok: Jika Timnas Indonesia Kalah yang Disalahkan Pasti...
- Niat Pamer Skill, Pratama Arhan Diejek: Kalau Ada Pelatih Baru, Lu Nggak Dipakai Han
- Datang ke Acara Ultah Anak Atta Halilintar, Gelagat Baim Wong Disorot: Sama Cewek Pelukan, Sama Cowok Salaman
- Menilik Merek dan Harga Baju Kiano saat Pesta Ulang Tahun Azura, Outfit-nya Jadi Perbincangan Netizen
Pilihan
-
5 HP Samsung Rp 1 Jutaan dengan Kamera 50 MP, Murah Meriah Terbaik November 2024!
-
Profil Sutikno, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang Usul Pajak Kantin Sekolah
-
Aliansi Mahasiswa Paser Desak Usut Percobaan Pembunuhan dan Stop Hauling Batu Bara
-
Bimtek Rp 162 Miliar, Akmal Malik Minta Pengawasan DPRD Terkait Anggaran di Bontang
-
Satu Orang Tarik Pinjaman Rp330 Miliar dengan 279 KTP di Pinjol KoinWorks
Terkini
-
BRI Raih Best API Initiative untuk Komitmen Hadirkan Solusi Perbankan Digital yang Inovatif dan Aman
-
NTB Uji Coba Makan Siang Gratis Untuk Murid SD, Seperti Ini Menunya
-
Visi Misi Cagub Bali Saat Debat Dinilai 'Daur Ulang', Frontier : Tak Ada Gagasan Baru
-
Bisnis Prostitusi Berkedok Spa Sampai ke Karangasem, Pekerjanya Bisa Hanya Dapat Rp 100 Ribu
-
Pria Italia Mendadak Jatuh di Restoran Dan Meninggal Dunia, Ngaku Sempat Terkena Sinar Matahari