Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 30 April 2024 | 20:28 WIB
Sejumlah pemuda memasang penjor atau bambu yang dihiasi janur dan hasil bumi untuk dilombakan dalam festival penjor dengan tema "ngerobok" di Desa Adat Kerobokan, Badung, Bali, Sabtu (11/6/2022). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/foc]

SuaraBali.id - Janur kuning melengkung rasanya sudah menjadi kalimat tak asing, terlebih bagi para generasi z. Pasalnya, janur tersebut biasa dipasang di depan rumah yang tengah mengadakan acara resepsi pernikahan.

Namun, janur kuning ini sebenarnya tak melulu difungsikan sebagai pelengkap acara pernikahan saja, melainkan juga untuk acara adat.

Seperti halnya di Pulau Bali, janur kuning ini digunakan sebagai pelengkap di acara adat. Masyarakat Bali biasa menyebutnya dengan Penjor.

Penjor memiliki makna sesuai dengan bentuk dan waktu pemasangannya. Saat Hari Raya Galungan tiba, penjor ini mulai dipasang menghiasi jalan-jalan di setiap sudut Pulau Bali.

Baca Juga: Siswa Sekolah di Bali Ini Mahir Membuat Seni Anyaman, Langka di Masa Kini

Pemasangan penjor ini juga tidak boleh sembarangan. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi sesuai dengan kepercayaan umat Hindu Bali.

Ada dua jenis penggunaan, penjor sakral dan penjor hiasan. Penjor sakral digunakan sebagai bagian dari upacara keagamaan seperti saat Hari Raya Galungan.

Sementara Penjor hiasan biasanya digunakan dalam acara-acara seni desa untuk menyemarakkan suasana.

Penjor ini digunakan menggunakan bambu setinggi 10 meter dan dihias menggunakan janur muda serta dedaunan lainnya.

Ujung bagian atas biasanya akan melengkung lantaran sangat tinggi. Tak hanya dedaunan, penjor juga dilengkapi dengan unsur alami seperti pala bungkah yang terdiri dari umbi-umbian, pala gantung yang terdiri dari jenis buah-buahan dan pala wija berupa biji-bijian.

Baca Juga: Makna Pamerajan di Setiap Rumah Adat Bali

Di bagian ujung atas yang melengkung digantung sampiyan penjor yang lengkap dengan bunga, porosan dan ornament lainnya.

Di bagian bawah terdapat rumah kecil untuk meletakkan sesaji dan pelengkapnya. Rumah kecil ini biasa disebut dengan sanggah ardha candra, berbentuk dasar persegi empat dan bagian atapnya ditutupi dengan anyaman bambu melengkung menyerupai bulan sabit.

Penjor ini bukan hanya sebagai hiasan saja di Hari Raya Galungan, namun juga memiliki makna yang dalam.

Penjor ini mengandung makna dalam ornament dan bahan-bahan penyusunnya. Bambu yang menjulang tinggi menggambarkan sebuah gunung, istana Sang Pencipta.

Penggunaan bambu ini melambangkan tempat yang suci. Warna terang dari janur dan dedaunan melambangkan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).

Hasil bumi yang digunakan memberikan makna ungkapan Syukur dan terima kasih pada Sang Pencipta atas kesejahteraan yang diberikan.

Penjor Galungan ini juga dimaknai sebagai naga, ujung penjor yang melengkung diartikan sebagai ekor naga dan bagian bawah tempat tatakan dan anyaman bambu dimaknai sebagai kepala naga.

Simbol naga ini disebut “Naga Basuki” sebagai lambang pertiwi dengan segala hasil alam yang memberikan kehidupan dan keselamatan.

Kontributor : Kanita

Load More