Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 29 Maret 2024 | 13:51 WIB
Bedah epilepsi yang dilakukan tim dokter di Siloam Hospitals Bali [Istimewa]

SuaraBali.id - I Nyoman Swagangga ayah dari Ni Kadek Purudi Asmi pantang menyerah meski sudah berjuang selama 13 tahun lamanya mengawasi sang putri yang menderita Epilepsi. Perjuangannya pun dilakukan dengan mengunjungi berbagai rumah sakit dan menjalani pengobatan alternatif.

Ia pun rela anaknya menerima obat-obatan sejak bayi karena penyakitnya ini. Hingga akhirnya kini, mulai ada kemajuan dari sang putri. Hal ini terjadi setelah anaknya mendapatkan operasi epilepsi dan perlahan dosis obat dapat dikurangi.

“Awalnya saat anak saya berusia 7 bulan mengalami kejang dan tidak sadarkan diri, lalu saya bawa ke rumah sakit di Klungkung, namun saat duduk di bangku SMP anak saya mulai kejang lagi  dengan intesitas sering. Saya berharap setelah operasi ini anak saya bisa sembuh total,” ujarnya saat memberi keterangan di momen Purple day atau Hari Epilepsi Internasional.

Purple Day atau Hari Epilepsi International yang jatuh setiap tanggal 26 Maret menjadi momentum untuk mengingatkan tentang pentingnya mengenal penanganan epilepsi agar tidak menjadi stigma buruk bagi penderitanya.

Baca Juga: Wisman yang Melintas di Uluwatu Langsung Diminta Bayar Pungutan

Menurut Dokter Spesialis Saraf, dr. I Gusti Ayu Made Riantini, Purple Day merupakan bagian dari kampanye internasional sejak 26 Maret 2008 di Kanada yang  diikuti 85 negara. Sejak itu pula tercatat  Penderita epilepsi mencapai 65 juta penduduk di dunia.

Ia menyebut bahwa 1 dari 100 orang menderita epilepsi dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus per tahun.

“Hal yang penting adalah mengedukasi masyarakat agar tidak mempercayai mitos dan tidak memberikan stigma buruk terhadap penderita epilepsi. Manfaatnya jika penanganan epilepsi diketahui secara luas. Dengan mengenal epilepsi tentu akan mendorong keluarga penderita lebih terbuka sehingga penanganan yang lebih tepat,” jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa saat ini terjadi peningkatan jumlah pasien yang mengalami epilepsy. Hal tersebut dilihat dari meningkatnya jumlah pasien epilepsi di RSU Siloam Bali dalam beberapah tahun terakhir.

Pada periode 2018 terdapat  442 pasien,  2019 : 981 pasien, 2020 yang terus mengalami kenaikan sebamyak 1593 dan data terakhir tahun 2023 mencapai  3510 penanganan dan kunjungan pasien epilepsi.

Baca Juga: Menjelang Idul Fitri, Kini Harga Gula di Bali Naik

Namun kini RS Siloam Hospitals telah berhasil melakukan operasi epilepsy. Salah satunya kepada Ni Kadek Purudi.

Menurut dr. Dewa Putu Wisnu Wardhana, (Neurosurgeon) beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya yaitu, pemeriksaan EEG : Elektroensefalografi  yang merekam aktifitas elektrik spontan dari otak, selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang di pasang di kulit kepala dan melalui MRI (di kepala). 

"Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi,” tuturnya.  

Sedangkan metode penanganan yang lebih mutakhir untuk mengatasi epilepsi menurut Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas adalah dengan Terapi VNS dan DBS.

VNS terapi atau disebut stimulasi saraf vagus yang telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Ini merupakan terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas.

Terapi ini telah disetujui untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.

Adapun stimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus.

“Terapi stimulasi otak dalam (Deep Brain Stimulation) atau DBS merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang sehingga Dilakukan pembedahan untuk memasang alat,” jelasnya.

Load More