Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Senin, 15 Januari 2024 | 18:05 WIB
Pengusaha hiburan di Bali dalam rapat untuk menolak pajak hiburan di Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Senin (15/10/2024). [SuaraBali.id/Putu Yonata Udawananda]

SuaraBali.id - Pengusaha hiburan di Bali menjadi yang terdampak setelah peraturan kenaikan pajak hiburan dari 15 persen menjadi 40-75 persen diberlakukan. Kenaikan tersebut dikenakan pada usaha hiburan meliputi kelab malam, karaoke, spa, dan usaha serupa.

Akibatnya, kini para pelaku usaha tengah memikirkan jalan keluar untuk menolak aturan tersebut. PHRI Badung menyampaikan beberapa solusi yang disampaikannya di hadapan pelaku pariwisata hiburan di Bali.

Ketua PHRI Badung, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menilai jika kenaikan pajak tidak masuk akal untuk saat ini. Pasalnya, banyak perusahaan yang dinilai masih dalam fase pemulihan pasca pandemi Covid-19. Sehingga, pihaknya menilai pajak 15 persen masih menjadi angka ideal.

“Ya 15 persen itu saya rasa sangat terjangkau ya, sangat masuk akal untuk sementara ini. Karena timingnya belum tepat, kita baru habis fase recovery,” ujarnya saat ditemui di kawasan Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Senin (15/01/2024).

Baca Juga: HIPMI Bali Sebut Kebijakan Pajak 40 Persen Jasa Hiburan Bebani Pelaku Pariwisata

Mereka sepakat untuk mengajukan judicial review atau uji materiil terhadap Undang-undang nomor 1 tahun 2024 tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Rai juga mempersiapkan kemungkinan cara untuk melakukan aksi langsung terkait penolakan tersebut jika terhambat dalam proses uji materiil.

“Nanti kita diskusi apakah setuju kita semuanya (untuk demonstrasi). Kita susun strateginya, kapan kita turun, kapan kita ke Jakarta, bagaimana caranya, saya rasa lebih dari 10 ribu bisa kita turunkan,” tuturnya.

Sementara itu, keluhan juga diutarakan oleh pelaku usaha tersebut. General Manager Kelab Malam Boshe menjelaskan jika pihaknya senada dengan Rai. Dia menilai jika pajak 15 persen juga sudah cukup tinggi.

Terlebih, meski sudah mempekerjakan sekitar 500 karyawan tetap, pihaknya juga mengaku jika setelah pandemi baru memulihkan 90 persen karyawannya jika dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Baca Juga: Desa Bayung Gede: Berdiri Sejak Sebelum Majapahit Kuasai Bali dan Masih Menjaga Nilai-Nilai Adat

“Saya baru narikin (karyawan) habis pandemi tadinya habis dirumahkan semua ini. Sekarang itu baru kita tarikin baru 90 persen dari total sebelum pandemi,” ujarnya.

Suwipra mengaku siap mengajukan tahapan judicial review bersama pelaku usaha lainnya. Dia juga siap jika harus menempuh cara dengan aksi.

“Setuju banget (melakukan aksi). Kalau memang itu cara yang akan dipilih oleh teman-teman semua,” ujarnya saat ditemui pada kesempatan yang sama.

Pernyataan senada juga dilontarkan pihak Atlas Beach Fest. Mereka menjelaskan jika akan akan menempuh jalur hukum terlebih dahulu dan meminta untuk meninjau kembali peraturan tersebut.

Namun, jika hal tersebut tidak disetujui, maka pihak Atlas menilai aksi demontrasi bisa menjadi opsi terakhir.

“Kita harus lihat dari sudut pandang legal move, yang kita angkat kita harus bikin surat terbuka dulu ke Pak Jokowi, ke Menko Marves tembusannya ke Bapak PJ gubernur dan Bupati Badung untuk mereview kembali,” tutur pihak Humas Atlas Beach Fest, Tommy Dimas.

“Kalau nanti tidak disetujui iya (aksi demonstrasi) tadi solusi dan menjadi opsi terakhir,” ujar dia.

Peraturan kenaikan pajak hiburan tersebut sudah berlaku pada Undang-undang nomor 1 tahun 2024 per tanggal 1 Januari 2024. Sementara, sudah ada tiga kabupaten di Bali yang sudah menurunkan Peraturan Daerah terkait hal itu yakni Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

Load More