Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 28 Oktober 2023 | 11:03 WIB
Kurma Asih Sea Turtle Conservation and Education Center, Jembrana, Bali. [Suara.com/Eviera Paramita Sandi]

SuaraBali.id - Pantai Perancak, Jembrana, Bali dikenal memiliki banyak tempat yang baik untuk keberlangsungan hidup penyu hijau. Dulu kala, banyak masyarakat di kawasan tersebut memburu penyu untuk dikonsumsi. Padahal kini, penyu menjadi hewan langka yang dilindungi karena keberadaannya yang semakin sedikit.

Seorang pelestari penyu bernama I Wayan Anom Astika Jaya (58) sudah familiar di kalangan komunitas pelestari penyu khususnya penyu hijau di Pantai Perancak, Jembrana. Ia dulunya dikenal juga sebagai pemburu penyu hijau.

Namun kini, keberpihakannya dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan, diganjar berbagai penghargaan tingkat nasional.

Anak dari mendiang Wayan Tirta ini merupakan mantan ketua kelompok pemburu penyu hijau untuk dikonsumsi ini berburu puluhan tahun lalu.

Baca Juga: Makna Ngaben Bikul di Bali, Para Warga Akan Terlebih Dulu Menangkap Tikus Massal

Ia awalnya tidak mengerti jika yang dilakukan bapaknya salah. Anom mengatakan, ada 3 dari 7 jenis penyu di dunia yakni penyu hijau, penyu belingbing dan penyu sisik. Tetapi yang paling laku pada saat itu adalah jenis penyu hijau.

“Saya masih kecil diajak ikut berburu penyu hijau, ikut bapak bersama komunitas nelayan lainnya. Dagingnya dijual untuk dimanfaatkan saat ada upacara di desa kami,” ujar Anom Astika, asal Desa Perancak, Kabupaten Jembrana, Bali saat dikonfirmasi kabarnusa- jaringan suarabali.id, Kamis (12/10/2023).

Terus diburunya penyu untuk dikonsumsi ini membuat populasi penyu huja terus menurun hingga nelayan semakin jarang melihat lagi penyu hijau muncul ke permukaan air laut.

“Akhirnya kami sadar kalau penyu hijau adalah salah satu satwa yang harus dilindungi dan dilestarikan. Saya berpikir bagaimana memulihkan keberadaan penyu hijau di desa saya. Ada dilema bagi keluarga saya dan komunitas nelayan. Jika kami tidak menangkap penyu maka kami tak bisa makan karena itulah satu-satunya mata pencaharian kami. Apalagi Bali jadi sorotan dunia. Saat itu kami ada di persimpangan jalan,” beber Anom.

Ia pun bertekad mengembalikan kelestarian penyu hijau dan mengajak para nelayan lainnya untuk tidak lagi menangkap penyu hijau. Kendati saat itu Anom bingung bagaimana memulainya.

Baca Juga: Pembuang Mayat Bayi di Bandara Bali Tertangkap, Pelaku Selebgram Ini Suka Gonta-Ganti Pasangan

Berawal pada tahun 1996. Kala itu Anom mendapat kunjungan dari WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia. Dirinya menceritakan bagaimana penyu hijau mulai punah karena diburu.

“Pihak WWF Indonesia kemudian memberikan edukasi dan penyuluhan tentang pentingnya konservasi dan pelestarian lingkungan termasuk penyu hijau di Desa Perancak. Akhirnya pada Juni 1997, kami mendirikan Yayasan Kurma Asih yang bergerak dalam konservasi alam diantaranya pelestarian penyu hijau. Anggotanya para nelayan mantan pemburu penyu. Dan kami bersyukur sekarang jumlah penyu hijau sudah berangsur pulih,” kata Anom yang mulai aktif di tahun 1998.

Karena dedikasinya yang luar biasa terhadap lingkungan (eksplorasi laut dan pesisir), tahun 2000 lalu, Anom Astika dengan Yayasan Kurma Asihnya menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Tingkat Nasional dari Presiden Gus Dur. Kemudian tahun 2017 menerima Penghargaan Kalpataru dari Presiden Joko Widodo.

“Bagi saya, penghargaan itu melecut semangat saya dan teman-teman untuk terus berkiprah sebagai garda terdepan dalam upaya penyelamatan lingkungan khususnya pelestarian penyu hijau,” tuturnya.

Ia akhirnya bergabung dengan Yayasan Kurma Asih mendirikan warung ikan bakar ‘Kurma Asih’ untuk melayani para tamu dan berbagai pihak yang berkunjung ke konservasi penyu tersebut.

Ia berharap nantinya Kurma Asih menjadi pusat konservasi dan edukasi khususnya penyu hijau. Nantinya, siswa TK hingga PT (Perguruan Tinggi) bisa belajar tentang konservasi alam/lingkungan di Kurma Asih.

“Misi kami belum selesai. Meski Kurma Asih sudah diakui dunia sebagai salah satu yayasan konservasi alam dan lingkungan, bukan berarti tidak ada kendala dan kekurangannya. Biaya operasional cukup besar. Bagaimana kami harus secara rutin berpatroli membersihkan pantai dari sampah plastik, mencari ‘bapak angkat’ untuk membantu ‘mengadopsi’ sarang-sarang penyu agar telurnya bisa menetas dengan baik. Patroli di Pantai Perancak sepanjang 30 Km membutuhkan solar yang tak sedikit, apalagi jika ada kerusakan mesin pada kapal. Semua membutuhkan biaya tak sedikit,” jelas Anom.

Load More