Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Minggu, 16 Oktober 2022 | 16:42 WIB
Putra dari Nengah Sariani Made Alit Putra (tengah) bersama dua kuasa hukum LBH Paiketan Krama Bali di Denpasar, Bali, pada Minggu 16 Oktober 2022. [SuaraBali.id/Yosef Rian]

SuaraBali.id - Kasus viral mengenai warga yang meninggal karena ditolak rumah sakit lanjut ke proses hukum. Keluarga korban meninggal dunia atas nama Negah Sariani (44 tahun) ingin ada pihak yang bertanggung jawab.

Keluarga Nengah Sariani menempuh jalur hukum dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Paiketan Krama Bali secara probono. Mengawal kasus ini karena merasa prihatin atas peristiwa nahas yang menimpa.

Dua Rumah Sakit Umum di Denpasar, Bali, yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya dan Rumah Sakit Umum (RSU) Manuaba Denpasar dilaporkan pihak keluarga ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali.

Kedua rumah sakit umum yang berperasi di Kota Denpasar itu diduga melanggar Undang-undang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, pasal 190 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Pasal 59 ayat 1 UU no 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan serta KUHP mengakibatkan korban meninggal dunia.

Baca Juga: Pemkot Denpasar Bergerak! Happy Puppy Bali, Karaoke Keluarga yang Sediakan Miras dan LC Bertarif Rp 500 Ribu

Putra dari Nengah Sariani, Made Alit Putra (20 tahun) yang menjadi saksi detik-detik meninggalnya sang ibu. Karena saat itu dialah yang mengantarkan ibu bersama sang kakak dengan mengendarai sepeda motor karena ditolak dua rumah sakit.

Rumah sakit tidak memberikan pertolongan pertama dan tidak bersedia meminjamkan ambulans.

Sabtu 24 September 2022 pukul 20.30 Wita menjadi detik-detik yang sangat menegangkan yang dialami keluarga ini.

Ibu empat anak itu mengalami batuk disertai darah yang keluar dari lubang mulut dan hidungnya.

Merasa cemas dengan kondisi sang ibu karena batuknya beda dengan biasanya, Alit bersama kakak perempuan bergegas melarikan ibu ke RSUD Wangaya. Jaraknya paling dekat dengan rumah.

Baca Juga: Festival Jatiluwih Cultural Week Diharapkan Dongkrak Kunjungan Wisatawan Bali

"Saat kami tiba di Wangaya, ada Satpam bertanya kondisi ibu, kami bilang batuk berdarah, lalu dipanggilkan dokter, kami masuk ke dalam menunggu, ada dokter wanita datang menyampaikan kepada kami kalau ruangan penuh tidak ada "bed" jadi tidak bisa ditangani. Kemudian saya mohon minta pertolongan pertama untuk ibu juga tidak bisa karena tidak ada bed dan disarankan ke Manuaba," ujar Alit.

Tak berhenti di situ saja, Alit berjuang meminjam ambulans untuk mengantarkan ibunya ke RS Manuaba. Namun tidak diizinkan pihak rumah sakit.

"Kami pun naik sepeda motor boncengan bertiga lagi langsung ke Manuaba. Sesampainya di Manuaba, saat itu kami masih di atas motor panggil dokter, kemudian diperiksa tangan ibu saya sama dokter laki-laki, dan disarankan langsung ke Sanglah, di Manuaba kami pinjam ambulans tidak dikasih juga karena alasannya takut menjadi masalah rumit," bebernya.

Kaki Terseret di Aspal

Kepanikan semakin memuncak, ditambah dengan kondisi ibunya yang sedemikian rupa, belum mendapat pertolongan pertama dan ambulans padah waktu terus berjalan, Alit bersama kakak perempuannya kembali menggeber sepeda motornya menuju Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah.

Di perjalanan, kondisi sang ibu semakin drop, kaki sang ibu tak kuat lagi menopang, sampai terseret aspal dan jempol kaki kirinya terluka.

Namun, petaka pun tiba sesampai di RSUP Sanglah, memang mendapatkan penanganan namun dokter menyampaikan kabar duka bahwa sang ibu sudah tidak bernyawa.

"Jadi ibu kami larikan ke Wangaya, ke Manuaba tidak mendapatkan penanganan, lalu ke Sanglah, di Sanglah mendapatkan penanganan diambilkan bed, diperiksa di UGD, dicek jantung sudah berhenti. Sudah meninggal dunia dalam perjalanan karena telat penanganan," ungkapnya.

"Padah saat di RS Wangaya ibu masih tersadar masih bisa bergerak," ucapnya dalam raut yang menyimpan duka.

Dijelaskan Alit, sang ibu sudah lama mengidap penyakit batuk, namun tidak pernah separah ini. Karena dianggap batuk biasa dan keterbatasan biaya selama ini tidak pernah periksa ke dokter dan hanya meminum obat beli yang umumnya di apotek.

Jasad Nengah Sariani dilakukan pengabenan di kampungnya Desa Mayong, Seririt, Buleleng, pada 12 Oktober 2022 yang sebelumnya dikubur pada 27 September 2022.

Alit mengungkapkan, sampai dengan saat ini tidak ada permohonan maaf langsung pihak rumah sakit ke pihak keluarga.

Dengan melapor ke pihak berwenang, Alit sebagai sang putra sangat berharap pihak rumah sakit mendapatkan hukuman untuk efek jera, dan kasus ini menjadi pelajaran untuk pelayanan rumah sakit berbenah lebih baik dan mementingkan kemanusiaan.

"Supaya tidak ada lagi korban seperti saya, mungkin apabila segera diberikan pertolongan pertama masih bisa diselamatkan," ucapnya.

Alit yang sedianya dipanggil Ditkrimsus Polda Bali untuk memberikan klarifikasi sebagai pelapor belum bisa memenuhi undangan karena bertepatan dengan hari pengabenan sang ibu di Buleleng.

"Kemarin ada undangan klarifikasi Dumas hari Kamis, tapi saya belum bisa karena Ngaben karena baru kemarin sampai Denpasar. Kasus ini pelapor atas nama ayah, kami melaporkan pimpinan rumah sakit sama tenaga medis yang menolak, siapa-siapanya nanti kan dilakukan penyelidikan sama pihak kepolisian harapannya terungkap, informasi yang kami dapat pihak RS sudah ada yang diperiksa, kami juga mengirim permohonan atensi khusus Dumas ke Kapolri dan Irwasum," ujarnya.

Wali Kota Denpasar Singgung Kemanusiaan

Sementara itu, Kuasa Hukum korban dari LBH Paiketan Krama Bali, Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, menyampaikan hasil rapat dengar pendapat di Kantor Wali Kota Denpasar yang berlangsung pada Senin 3 Oktober 2022 pukul 09.00 Wita.

Rapat dengar pendapat dihadiri oleh pihak Pemkot, Ikatan Dokter Indonesia Bali dan Denpasar, pihak RS Wangaya serta Komite Etik Wangaya.

"RS Wangaya menutup kolom komentar IG, menyampaikan maaf melalui IG, tapi tidak bisa dikomen, lalu patut diduga RS Wangaya mengirim buzzer di review google dengan ulasan ulasan positif sebelumnya ada ulasan negatif karena kasus ini," kata Dewa didampingi kuasa hukum lainnya, I Wayan Gede Mardika.

Dijelaskan dia dalam rapat dengar pendapat bahwa saat itu Wali Kota Denpasar juga menanyakan sisi kemanusiaaan dan menyesalkan ada kejadian tersebut.

Sementara itu pihak RS membenarkan terdapat ambulans, namun pengakuan versi pihak RS bilang ke Alit telah menyarankan menggunakan ambulans BPBD, tapi versi Alit pihak RS Wangaya tidak menawarkan hal itu.

"Alasan mereka tidak bisa menggunakan ambulans karena harus sesuai SOP, dokter, dan perawat. Kemudian dari komisi etik Wangaya audit ke dokter yang berjaga saat itu dibilang secara SOP sudah benar, kalau IDI kota maupun provinsi patokannya hasil audit internal RS yang dipercaya," paparnya.

Meski pihak RS bersikukuh benar sesuai SOP yang dijalankan namun dalam kasus ini adalah azas kemanusiaan, bahkan diamanatkan dalam Undang undang, apalagi dalam keadaan darurat.

"Waktu itu ada ambulans, tapi SOP dokter dan perawat sedikit, jadi ambulans tidak bisa keluar. Intinya RS merasa benar karena SOP, tapi itu pelanggaran jelas melanggar Undang-undang karena RS tidak memiliki legalitas menolak pasien terlebih dalam keadaan darurat," pungkasnya.

Kontributor Bali : Yosef Rian

Load More