Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 17 September 2022 | 08:30 WIB
Warga berdoa saat peringatan 19 tahun tragedi bom Bali di Monumen Bom Bali, Badung, Bali, Selasa (12/10/2021). [ANTARA FOTO/Fikri Yusuf]

SuaraBali.id - 12 Oktober 2002 menjadi hari kelam bersejarah di Bali, hari di mana terjadi peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia, ledakan Bom Bali 1  20 tahun yang lalu itu telah menewaskan 202 orang dari warga negara asing (WNA) dan warga Negara Indonesia (WNI) di Jalan Legian, Kuta, Badung, Bali.

Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian dan ledakan terakhir terjadi di dekat kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat, Denpasar.

Masih tersimpan rapi file rekaman video kejadian Bom Bali 1 di kartu memori seorang wartawan senior di Bali bermama Sigit Purwono, yang kala itu bekerja di TVRI. Dokumentasi ini pun dinyatakan dalam sebuah film dokumenter di momen menjelang peringatan 20 tahun Bom Bali.

Kala itu Sigit yang sedang tertidur sore hari mendengar keriuhan dari tetangga sekitar, tak lama kemudian ia yang tinggal di kawasan Jalan Tukad Yeh Aya Renon mendengar suara ledakan.

Baca Juga: AJI Denpasar Dan IJTI Bali Gelar Pemutaran Film The White Balance 20 Tahun Bom Bali

Ternyata ledakan itu berasal dari ledakan keras berasal dari bom di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat, jiwa jurnalisnya terpanggil, ia lantas menggunakan mobil pribadi mengajak temannya, Bambang Sumbono untuk bergegas ke tempat kejadian perkara (TKP) Bom kedua itu merupakan sinyal dari bom utama di Jalan Legian.

Sigit mendapatkan momentum berjalan beriringan dengan ambulans dan bisa memasuki kawasan titik TKP.

Sigit menceritakan ketika memasuki lokasi tempat meledaknya bom di Jalan Legian, dirinya seakan tidak percaya melihat apa yang terjadi.

Kondisi sekitar ground zero porak poranda dan hancur berantakan, Sigit tidak bisa membayangkan dahsyatnya kekuatan bom yang meledak.

Sigit menyampaikan Jalan legian yang biasanya hingar bingar dengan suasana khas Kuta, tiba-tiba berhenti berdetak, diam dan sunyi, hanya suara raungan sirine mobil pemadam yang paling dominan malam itu, selebihnya adalah suara orang-orang yang sedang melakukan proses pertolongan dan evakuasi korban,

Tumpukan jasad-jasad bertebaran, korban-korban luka dengan luka bakar parah, lalu lalang ambulans, kobaran api hingga lubang yang menganga lebar dan dalam di lokasi tempat kejadian tepat meledaknya bom.

“Keadaan sangat gelap, karena aliran listrik padam, namun saya masih dapat melihat dengan jelas karena membawa lampu di camera video, Saat Itu terlihat banyak wartawan foto dan camerawan tv berada di lokasi kejadian tetapi mereka tidak membawa lampu, Dengan kondisi seperti Itu, saya dengan mudah mengambil gambar kemana saja, masuk ke reruntuhan Sari Club yang dipenuhi mayat, mengikuti proses evakunsi korban, mengamati ground zero yang seperti kubangan air dan melihat puluhan mobil ynng hangus terbakar bersama penumpangnya,” ungkapnya kepada SuaraBali.id

Dalam video dokumenternya menggambarkan awal mula kejadian, masa persidangan terdakwa bagaimana para pelaku berdialog dengan hakim, hingga pemakaman setelah eksekusi hukuman mati ia sajikan sesuai fakta tanpa ada naskah menjadi literasi referensi dan rujukan untuk kasus bom bali 2002 dan terorisme internasional.

Satu bulan pasca kejadian tepatnya 15 November 2002 sebelum Jalan Legian kembali dibuka dilakukan ritual pembersihan secara Hindu.

"Interestnya di sini saya menyajikan fakta tanpa tulisan, real fakta, video asli hasil riil bukan direkonstruksi, saya namakan The white balance, yang saya rasakan ngeri karena banyak sekali mayat yang tewas yang kondisi mengenaskan, ada mayat yang masih di mobil terbakar terpanggang ngeri tidak menyangka dahsyatnya ledakan sepanjang Legian mobil gosong semua,” ungkap dia

“Video ini menjadi jejak digital peristiwa tahun 2002 lalu, seperti apa kejadiannya, kondisi setelahnya, Bali sepi, kejadian pertama dan berdampak pada dunia  internasional,” imbuhnya.

Jurnalis Sigit Purwono ketika ditemui di rumahnya di daerah Panjer, Denpasar Selatan, Bali, Senin, 25 Juli 2022 [Suara.com / Yosef Rian]

Sempat Ingin Segera Pergi dari Bali

Seusai proses peliputan dari Kuta dan pulang ke rumah Minggu pagi (13 Oktober 2002 ) sekitar pukul 05.00 wita, Sigit langsung menemui istri dan mengajaknya untuk pulang ke Jawa. Ia sempat terbesit dipikiran untuk segera meninggalkan Bali.

“Saya katakan bahwa kita harus keluar dari Bali hari itu juga. Saya menyuruh istri untuk segera mencari tiket pesawat atau bus, agar sekeluarga dapat keluar dari Bali. Saya tidak ingin melihat pengalaman buruk di daerah-daerah konflik akan menimpa kami. Tetapi istri saya tetap bertahan, tidak mau meninggalkan Bali hari itu juga. Sejak itulah beberapa hari kemudian saya merasa tidak nyenyak tidur karena selalu dihinggapi perasaan takut, khawatir dan trauma,” tutur dia

Namun kekhawatirannya tidak terbukti, lambat laun masyarakat Bali baik dari berbagai suku, agama, dan kebangsaan bahu membahu bangkit bersama untuk membangun Bali kembali.

Dokumenter ini menjadi bukti kecintaan kami terhadap Bali, meski saya harus mengerjakan proses pasca produksi ini secara “single fighter” sekitar empat tahun.  Dia menjelaskan ide pembuatan dukumenter ini muncul sekitar pertengahan tahun 2004 ketika dia sedang belajar di Australia, sebagai seorang kamerawan TV yang mengikuti kasus Bom Bali sejak awal, tiba-tiba muncul keinginan untuk membuat sebuah dokumenter yang dapat menjadi referensi asli bagi siapa saja yang ingin mengetahui kasus ini.

“Alasannya karena pemda Bali maupun Pemerintah Indonesia belum pernah membuat video dokumenter kasus Bom Bali secara resmi.

Gagasan tersebut disampaikan kepada Profesor Peter Manning, mentornya yang sekaligus merupakan seorang praktisi televisi terkenal di Australia.

“Saya mendedikasikan dokumenter ini khususnya untuk masyarakat Bali, para korban dan keluarga korban serta masyarakat internasional yang cinta damai. Tidak lupa kepada 22 negara yang warganya ikut menjadi korban Bom Bali, semoga dokumenter ini dapat menjadi tali pengikat rasa solidaritas kemanusiaan di antara kita sebagai masyarakat internasional,” papar dia

Dirinya menjelaskan tujuan membuat video dokumenter memberikan gambaran utuh, peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002 telah membawa dampak dan pengaruh yang luas terhadap berbagai aspek kehidupan seperti sosial, perekonomian, keamanan dan pariwisata.

Dokumenter bersifat idealis dan profesional lahir dari sebuah semangat idealisme untuk mendokumentasikan sebuah tahapan dalam proses perjalanan sejarah Bali dan bangsa Indonesia.

“Dokumenter ini bukan merupakan sebuah “pembelaan” ataupun “perlawanan” terhadap suatu kelompok tertentu, sehingga dibuat secara lugas dan faktual dengan alur cerita bersifat kronologis sejak ledakan Bom terjadi,” kata dia

Ia memberikan judul dokumenternya dengan sebutan White Balance yang merupakan suatu istilah teknis dalam kamera video.

White Balance berfungsi menyesuaikan warna agar gambar yang dihasilkan kamera sesuai warna aslinya.

Kesalahan dalam melakukan White Balance akan berakibat warna yang dihasilkan kamera menjadi salah, warna biru bisa menjadi merah, warna putih bisa menjadi hijau dan sebagainya.

White Balance memberikan referensi obyektif tentang warna sebuah objek, sedangkan dalam persepsi masing-masing orang, warna putih belum tentu putih dan warna hitam belum tentu hitam.

“Dengan menyaksikan dokumenter ini setiap orang diharapkan dapat melakukan penyesuaian (adjustment / white balance ) dalam diri masing-masing, untuk melihat apa yang benar adalah benar dan salah adalah salah,” jelas dia

White Balance merupakan riil dokumenter peristiwa Bom Bali. Dokumenter ia buat sengaja tidak dilengkapi script dan narasi dengan maksud agar tidak diwarnai interest pembuatnya serta kemungkinan menimbulkan intepretasi yang lain dari kasus bom Bali..

Dokumenter ini merupakan sebuah fakta dari perjalanan sejarah Bali dan munculnya terorisme global yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.

“Kasus Bom bali adalah sebuah peristiwa luar biasa yang memberikan sebuah pelajaran bagi semua orang, bahwa tindakan terorisme tidak harus dihadapi dan dibalas dengan terorisme juga. Masyarakat Bali memiliki cara tersendiri yang sangat unik dalam menyikapi serangan terror,” tuturnya.

Sigit teringat pernyataan Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika (mantan Gubernur Bali) sebagai inti dan kesimpulan dari Video Dokumenter ini. Pastika pernah melontarkan kalimat : Not to be terrorist is one way to fighting terrorism. If you afraid that is the aim of the terrorist. Let's fight together! (Tidak menjadi teroris adalah salah satu cara untuk menghadapi teroris. Kalau anda merasa takut maka itulah tujuan (keinginan) para teroris. Mari kita hadapi bersama para teroris-teroris itu.

Pastika adalah jenderal kelahiran Bali. Selama kasus Bom Bali, Pastika adalah Ketua Tim Investigasi Kasus Bom Bali, yang kemudian dilantik menjadi Kapolda Bali pada Agustus - tahun 2005 ).

Dalam dokumenternya secara sengaja hanya ditampilkan persidangan empat tokoh utama dalam kasus peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002, yaitu Imam Samudra, Ali Gufron alias Muklas, Amrozy dan Ali Imron alias Ale. Ke-empat tokoh inilah yang berperan penting dan menjadi semacam ikon selama kasus Bom Bali.

Dari video yang dia ambil tergambar jelas bagaimana kengerian Bom Bali yang dilakukan oleh Imam Samudra, Ali Gufron, Ali Imron dan Amrozi.

Setelah Bom Bali 1, rangkaian pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005.

Kontributor Bali : Yosef Rian

Load More