Dari angka tersebut diperkirakan 58 persen lebih berasal dari Pulau Jawa. Sementara sisanya berasal dari semua pulau di Indonesia.
Jumlah pemudik sebanyak itu tentu memerlukan pengaturan sarana transportasi massal dan manajemen lalu lintas yang presisi.
Saya membayangkan jika negara mampu untuk menata masyarakatnya agar bisa oke di wilayahnya masing-masing mungkin tradisi mudik Lebaran tidak akan terlalu dikaitkan dengan problem kepadatan lalu lintas, transportasi, dan permasalahan lainnya.
Tetapi mudik sebagai budaya besar tetap harus berlangsung dengan baik sebesar apapun tantangan yang dihadapi. Jangan sampai kompleksitas persoalan yang rutin hadir ketika mudik membuat kita mendukung anggapan bahwa pulang kampung bisa dilakukan kapan saja.
Pulang kampung dan mudik Lebaran secara makna memang punya kesamaan. Yakni sama-sama pulang menuju kampung halaman.
Tetapi dari aspek rasa dan derajat nilai jelas berbeda.
Ketika dalam bulan-bulan biasa seseorang tidak pulang kampung tentu tidak akan jadi masalah. Tetapi pada momentum Idul Fitri, apakah ada manusia Indonesia yang rela mendengarkan gema takbir di kota atau di wilayah yang jauh dari kampung halamannya?
Jawabannya jelas tidak ada. Ini karena masyarakat Indonesia adalah manusia-manusia yang mencintai dan menjunjung keakraban sosial.
Dimensi yang luas
Mungkin bagi sebagian besar penduduk di belahan bumi lain seperti Eropa, Timur Tengah dan Amerika, “pulang kampung” bisa dilakukan kapan saja karena tujuannya cukup dengan berkunjung ke tempat orang tuanya.
Tetapi bagi orang Indonesia yang memiliki keakraban sosial cakupan dimensinya bisa lebih luas lagi. Tidak cukup hanya bercengkerama dengan ayah ibu atau dengan keluarga besar, tetapi juga dengan tetangga serta dengan sahabat-sahabat ketika kecil.
Itu semua adalah bentuk keakraban sosial yang mengakar dan hanya dapat dijumpai secara eksklusif dalam peristiwa Lebaran di Indonesia.
Di lain sisi guyub tahunan ketika Lebaran jangan diartikan bahwa manusia Indonesia tidak ingin dekat dengan keluarga dan kampung halamannya setiap saat.
Kalau dituruti, mungkin banyak di antara orang Jawa Timur atau orang dari luar Jawa yang bekerja di Jakarta untuk pulang setiap bulan atau bahkan setiap minggu.
Tetapi karena itu sulit untuk dilakukan, akhirnya mereka rela menjauh menanggalkan dahaga rindu selama kurang lebih setahun lamanya.
Berita Terkait
-
Merak Siap Layani Kebutuhan EV Selama Nataru, PLN Pastikan SPKLU dan Petugas Siaga 24 Jam
-
Cara Daftar Mudik Nataru Gratis Kemenhub, Hanya untuk 3 Ribu Lebih Pendaftar Pertama
-
32 Jadwal Kereta Api Gratis untuk Angkut Motor Mudik Nataru 2026, Masih Sisa Kuota?
-
Kuotanya 33 Ribu, Begini Daftar Mudik Gratis Kemenhub di Nataru
-
Menhub Siapkan Diskon Tiket Pesawat dan Tol serta Mudik Gratis untuk Nataru, Ini Rinciannya
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
Terkini
-
Apa Jasa Raden Aria Wirjaatmadja bagi BRI? Begini Kisahnya
-
TikTok Diprediksi 'Menggila' Saat Nataru, Trafik Data Bali-Nusra Diproyeksikan Naik
-
Batik Malessa, Dari Kampung Tipes Memberdayakan Perempuan dan Menggerakkan Ekonomi Keluarga
-
BRI Bersama BNI dan PT SMI Biayai Proyek Flyover Sitinjau Lauik Senilai Rp2,2 Triliun
-
Rekomendasi Rental Motor Murah di Bali Mulai Rp50 Ribu