SuaraBali.id - Mudik Lebaran Idul Fitri sudah menjadi budaya dan pemandangan tahunan di Indonesia, diduga tradisi ini sudah dimulai sejak Indonesia masih berusia sangat muda.
Asal usul tradisi mudik berasal dari pengaruh adanya kota besar dan orang-orang yang memilih tinggal menjauh dari kampung halaman untuk mendapatkan jaminan rasa aman ataupun kesejahteraan.
Kota besar kemudian dianggap sebagai tempat yang menjanjikan bagi aktivitas untuk mengais rejeki.
Namun pandangan seperti ini sesungguhnya tidak berdiri sendiri, ini merupakan kelanjutan dari desain kota kolonial yang memang menyediakan lahan bagi pertumbuhan industri dan sektor jasa.
Masyarakat di desa yang memerlukan sektor mata pencaharian yang lebih beragam kemudian memutuskan untuk bergerak menuju perkotaan.
Sementara itu jumlah kota besar di Indonesia selama dua dekade terhitung sejak kemerdekaan masih bisa dihitung jari. Itupun cukup dengan satu jari tangan saja.
Artinya, terdapat penumpukan penduduk di ruang kota yang sebenarnya sangat terbatas.
Adolf Heuken yang dikutip dari buku “Merebut Ruang Kota” karya Purnawan Basundoro menyebutkan bahwa Jakarta yang semula bernama Batavia tidak dimaksudkan untuk menampung jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa.
Persisnya para perancang Batavia mengangankan jumlah penduduk sekitar 900 ribu jiwa saja.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kota ini malah mendapat tekanan jumlah penduduk yang amat kuat.
Pada pertengahan tahun 1950-an Jakarta memiliki jumlah populasi hampir dua juta jiwa. Selang tiga dekade kemudian jumlahnya meningkat tajam menjadi 6,5 juta jiwa. Dan berdasarkan sensus tahun 2020 populasi di Jakarta sebanyak 10,56 juta jiwa.
Meskipun dikatakan terjadi tren penurunan pertumbuhan penduduk di Jakarta, tetapi tetap saja penumpukan jumlah populasi sebesar itu tidak sebanding dengan ruang yang terbatas.
Menjadi ruwet
Penumpukan penduduk di kota besar di Indonesia sebenarnya terjadi karena adanya penggumpalan kekayaan di satu atau dua titik wilayah saja. Sehingga ketika semua orang lebih banyak menetap di satu atau dua titik wilayah (kota besar) membuat tradisi mudik Lebaran yang sebenarnya peristiwa sederhana menjadi ruwet.
Terlebih menurut data yang dirilis oleh Balitbang Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa akan ada sekitar 85,5 juta penduduk Indonesia yang mudik di tahun 2022.
Dari angka tersebut diperkirakan 58 persen lebih berasal dari Pulau Jawa. Sementara sisanya berasal dari semua pulau di Indonesia.
Jumlah pemudik sebanyak itu tentu memerlukan pengaturan sarana transportasi massal dan manajemen lalu lintas yang presisi.
Saya membayangkan jika negara mampu untuk menata masyarakatnya agar bisa oke di wilayahnya masing-masing mungkin tradisi mudik Lebaran tidak akan terlalu dikaitkan dengan problem kepadatan lalu lintas, transportasi, dan permasalahan lainnya.
Tetapi mudik sebagai budaya besar tetap harus berlangsung dengan baik sebesar apapun tantangan yang dihadapi. Jangan sampai kompleksitas persoalan yang rutin hadir ketika mudik membuat kita mendukung anggapan bahwa pulang kampung bisa dilakukan kapan saja.
Pulang kampung dan mudik Lebaran secara makna memang punya kesamaan. Yakni sama-sama pulang menuju kampung halaman.
Tetapi dari aspek rasa dan derajat nilai jelas berbeda.
Ketika dalam bulan-bulan biasa seseorang tidak pulang kampung tentu tidak akan jadi masalah. Tetapi pada momentum Idul Fitri, apakah ada manusia Indonesia yang rela mendengarkan gema takbir di kota atau di wilayah yang jauh dari kampung halamannya?
Jawabannya jelas tidak ada. Ini karena masyarakat Indonesia adalah manusia-manusia yang mencintai dan menjunjung keakraban sosial.
Dimensi yang luas
Mungkin bagi sebagian besar penduduk di belahan bumi lain seperti Eropa, Timur Tengah dan Amerika, “pulang kampung” bisa dilakukan kapan saja karena tujuannya cukup dengan berkunjung ke tempat orang tuanya.
Tetapi bagi orang Indonesia yang memiliki keakraban sosial cakupan dimensinya bisa lebih luas lagi. Tidak cukup hanya bercengkerama dengan ayah ibu atau dengan keluarga besar, tetapi juga dengan tetangga serta dengan sahabat-sahabat ketika kecil.
Itu semua adalah bentuk keakraban sosial yang mengakar dan hanya dapat dijumpai secara eksklusif dalam peristiwa Lebaran di Indonesia.
Di lain sisi guyub tahunan ketika Lebaran jangan diartikan bahwa manusia Indonesia tidak ingin dekat dengan keluarga dan kampung halamannya setiap saat.
Kalau dituruti, mungkin banyak di antara orang Jawa Timur atau orang dari luar Jawa yang bekerja di Jakarta untuk pulang setiap bulan atau bahkan setiap minggu.
Tetapi karena itu sulit untuk dilakukan, akhirnya mereka rela menjauh menanggalkan dahaga rindu selama kurang lebih setahun lamanya.
Dan ketika tiba saatnya momen yang ditunggu itu datang, mereka siap dan rela untuk tertatih-tatih di jalur perlintasan mudik Lebaran demi menjumpai lingkungan yang mengakui secara tulus eksistensi personalnya.
Karena banyak di antara mereka yang mudik apakah ia seorang buruh pabrik, pekerja kantoran, kuli serabutan, pedagang, satuan pengamanan (satpam), dan lain sebagainya mungkin merasa kehilangan keaslian dirinya dalam hari-hari biasa di tempatnya bekerja.
Mereka baru bisa merasakan keberadaannya diakui secara murni hanya ketika berjumpa dengan orang tua dan keluarganya ketika Lebaran.
Dengan mudik mereka seolah kembali menemukan keasliannya, kediriannya.
Ini pula yang pernah dikatakan budayawan Muhammad Ainun Nadjib bahwa mudik sebenarnya mengajarkan manusia untuk menyelami kembali siapa dirinya dan dari mana ia berasal.
Mudik juga mengajarkan kesejatian sehingga membuat ayam kembali menemukan keayamannya, setelah di burung-burungkan bahkan di musang-musangkan oleh proses sosial dan hedonisme kebudayaan.
Mudik bisa memiliki kandungan makna yang jauh lebih luas dari sekadar urusan perjalanan fisik dan urusan perputaran ekonomi.
Karena mudik memiliki lipatan-lipatan yang menembus dimensi psikologi, perasaan, dan rohani sehingga memungkinkan manusia untuk pulang, tidak hanya menuju kampung halamannya, melainkan bergerak lebih dalam menuju perenungan kasih sayang ibunya, dan kasih sayang penciptanya. (ANTARA)
*) Hasan Sadeli adalah mantan aktivis PMII, lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
Berita Terkait
-
Tata Cara Shalat Jamak Taqdim dan Takhir Saat Arus Balik Lebaran 2025, Ini Syarat Lengkapnya
-
Ratusan Kecelakaan Lalu Lintas Terjadi di Masa Arus Mudik dan Balik Lebaran
-
Rp17 Juta untuk Tiket Pesawat Domestik? Pemudik Meradang Lihat Harga Pasca Lebaran
-
Kenali 5 Masalah Kulit Setelah Mudik dan Cara Mengatasinya
-
Pahami Cara Aman Lewati One Way Saat Arus Balik Mudik Lebaran 2025
Terpopuler
- Dedi Mulyadi Sebut Masjid Al Jabbar Dibangun dari Dana Pinjaman, Kini Jadi Perdebatan Publik
- Baru Sekali Bela Timnas Indonesia, Dean James Dibidik Jawara Liga Champions
- Terungkap, Ini Alasan Ruben Onsu Rayakan Idul Fitri dengan "Keluarga" yang Tak Dikenal
- Yamaha NMAX Kalah Ganteng, Mesin Lebih Beringas: Intip Pesona Skuter Premium dari Aprilia
- JakOne Mobile Bank DKI Bermasalah, PSI: Gangguan Ini Menimbulkan Tanda Tanya
Pilihan
-
Hasil Liga Thailand: Bangkok United Menang Berkat Aksi Pratama Arhan
-
Prediksi Madura United vs Persija Jakarta: Jaminan Duel Panas Usai Lebaran!
-
Persib Bandung Menuju Back to Back Juara BRI Liga 1, Ini Jadwal Lengkap di Bulan April
-
Bocoran dari FC Dallas, Maarten Paes Bisa Tampil Lawan China
-
Almere City Surati Pemain untuk Perpanjang Kontrak, Thom Haye Tak Masuk!
Terkini
-
Waspadai Cuaca Laut Saat Arus Balik Lebaran: Gelombang di Selat Bali dan Lombok Capai Dua Meter
-
5 Restoran di Bali yang Cocok Untuk Acara Makan Bersama Keluarga
-
Thai Lion Air Kini Terbang dari Bali ke Bangkok, Jadwalnya 4 Kali Seminggu
-
Arus Balik dari Jawa ke Bali Mulai Meningkat, Akhir Pekan Diprediksi Jadi Puncaknya
-
7 Kolam Renang di Bali Murah Untuk Liburan Anak-anak