Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 28 Desember 2021 | 07:45 WIB
Puri Pemecutan. [Foto : Istimewa/beritabali.com]

SuaraBali.id - Setelah Ida Cokorda Pemecutan XI lebar atau meninggal dunia, akan dilakukan pelebon dengan prosesi Pratiwa Nyawa Ngasti Wedana. Pelebon Ida Cokorda Pemecutan XI juga akan menggunakan bade tumpang solas atau sebelas, serta dikawal oleh arak-arakan ogoh-ogoh berbentuk raksasa.

Juru Bicara Puri Agung Pemecutan, AA. Ngurah Rai Sudarma, dalam jumpa pers Senin (27/12/2021) di Puri Agung Pemecutan, Denpasar, Bali. Kata dia, setiap simbol-simbol yang terdapat dalam prosesi itu memiliki makna.

Tak terkecuali ogoh-ogoh berbentuk raksasa yang disimbolkan sebagai sang butha yang membuka akses jalan sang raja menuju alam Sunia Loka.  Puncak upacara nantinya akan digelar pada 21 Januari, yang akan dipuput oleh sebanyak 11 pendeta atau sulinggih.

Hal ini dipandang spesial oleh keluarga, sebab saat almarhum yang bernama asli Anak Agung Ngurah Manik Parasaa ini dinobatkan sebagai Raja Badung ke XI juga dipuput sebelas sulinggih.

"Semua ada filosofinya, seperti ogoh-ogoh itu merupakan membuka jalan agar tidak ada yang menghalangi perjalanan almarhum ke Surga," tuturnya sebagaimana diwartakan beritabali.com - Jaringan Suara.com.

Tahapan awal upacara itu akan dimulai pada 2 Januari 2022 mendatang, diawali proses nyiramin atau melelet hingga tanggal 21 Januari 2022.

Rai Sudarma menyebut, prosesi ini pernah digelar empat kali yakni pada 1962, 1986, 1993, 1998 dan saat ini 2021. Jika dihitung setelah wafatnya sang ayah atau Ida Cokorda Pemecutan X pada tahun 1986 berjarak 35 tahun.

Upacara skala besar ini disebutnya merupakan tradisi yang dilakukan terhadap generasi Puri Agung Pemecutan yang telah menerima gelar sebagai raja.

"Jadi bukan gagah-gagahan, kami mengenal wasudewa kutumbakan, namun ini, kita bersaudara semua, tapi ada sesana," tuturnya, didampingi anak bungsu almarhum yakni AAN. Gede Kertagama dan menantu pertama almarhum Ida Bagus Wesnawa.

Untuk menentukan jenis upacara tersebut keluarga memohon petunjuk kepada 7 sulinggih atau pendeta Hindu.

Sekilas tentang upacara tersebut, Bade yang digunakan sebagai tempat jenazah menuju Setra atau kuburan adat yaitu tumpang atau beratap sebelas. Juga akan ada arak-arakan ogoh-ogoh.

"Semua ada maknanya. Mungkin lalu lintas akan sedikit terhambat, mohon masyarakat memaklumi," ujar Rai yang juga Bendesa Adat Denpasar.

Semua atribut, termasuk Bade akan dibuat di halaman Puri. Kendati akan berlangsung lama dan melibatkan ribuan Krama dari ratusan desa adat, dia menyebut pihak keluarga tetap menghormati aturan pemerintah terkait penerapan protokol kesehatan.

Pihak keluarga telah berkoordinasi dengan pihak terkait pengawasan prokes agar setiap tahap berjalan lancar. Rai menyebut, sejumlah kelompok yang ingin terlibat dalam prosesi itu diimbau agar menahan diri.

"Terutamanya warga Islam Kepaon kita minta janganlah lebih dari 25 orang, atau dengan bergiliran. Memang semangat warga Islam Kepaon luar biasa, setiap ada upacara besar di puri, selalu hadir," tutur Rai.

Terkait mencegah kerumunan juga, pihak keluarga tidak melibatkan Krama adat untuk ngiring, atau ikut ngaben.

"Pada tahun 1962 itu melibatkan 2.500 sane nyarengin. Namun karena pandemi, bukan kami menolak, sampai saat ini prosesi masih ngeraga," ungkapnya.

Sementara sang menantu, Ida Bagus Wesnawa menyebut upacara ini sekaligus menjadi momentum edukasi kepada generasi muda internal Puri maupun masyarakat umum, bahwa ada adat istiadat yang patut kita jaga kelestariannya.

Ia juga berharap ada sinergi antara pemerintah bersama Krama adat untuk menjaga kearifan lokal di tengah aturan-aturan pembatasan kegiatan sosial akibat pandemi. Sehingga ada jalan tengah agar adat di Bali tetap berjalan, juga selaras dengan kebijakan pemerintah.

Hai sudarma mengatakan acara ini termasuk telah mengalami penyederhanaan dibandingkan gelaran masa lampau, namun tidak menghilangkan pakem dari esensi upacara itu sendiri.

Load More