Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Senin, 08 November 2021 | 15:47 WIB
Anak-anak penjual tissue yang ditemui di sepanjang jalan Teuku Umar, Denpasar, Bali, Minggu (8/11/2021) . [Foto SuaraBali.id/ Imam Rosidin]

"Secara ekonomi tak mampu. Kedua tak punya niat besar sekolahkan anaknya," kata dia.

Sedangkan Ketua KPPAD Bali Ni Luh Gede Yastini mengatakan sebagian besar anak yang bekerja di jalan berasal dari Karangasem. Mereka beroperasi di daerah kantong pariwisata dan ekonomi seperti Badung, Denpasar, dan Gianyar.

Terkait jumlah, pihaknya tak memiliki angka pasti. Namun pada 2013 silam pernah diadakan pendataan yang angkanya mencapai 200 anak hanya di Kota Denpasar. Ia memperkirakan pada 2021 ini meningkat dua kali lipat.

"Kami pengawasan dan mendorong kebijakan bagaimana mengurangi pekerja anak ini. Menghapus pekerja anak dan perlindungan," kata dia.

Terkait persoalan ini, KPPAD memberikan rekomendasi yakni bupati/walikota se-Bali mengintensifkan pengawasan aktivitas anak di jalan. Lalu, perlunya kerjasama instasi dan peran warga untuk pemenuhan hak anak.

Adanya regulasi hukum baik hukum positif dan adat untuk mengatasi masalah pekerja anak.

"Jika langkah humanis tak efektif, maka perlu langkah hukum. Kemudian jika menerapkan hukum positif maka perlu disiapkan sarana penunjangnya," kata dia.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace juga menyoroti maraknya pekerja anak-anak di jalan. Jumlahnya semakin meningkat ketika pandemi Covid-19.

"Selama Covid-19 ini kalau kita (lihat) di perempatan-perempatan, di traffic light makin banyak. Dan ini menjadi PR bersama untuk harus diatasi ada persoalan apa di balik itu semua," katanya usai pelantikan anggota KPPAD Bali, Kamis (28/10/2021) lalu.

Ia berujar bahwa anak-anak turun ke jalan sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Namun saat ini jumlahnya semakin banyak.

Load More