Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Rabu, 18 Agustus 2021 | 21:10 WIB
[Beritabali.com/ist /file/Sejarah Pertempuran Pasukan Ciung Wanara Melawan Belanda].

SuaraBali.id - Peristiwa pertempuran 20 November 1946 dikenal sebagai hari Puputan Margarana. Saat itu Kolonel I Gusti Ngurah Rai dan Pasukan Berani Mati "Ciung Wanara" berperang "puputan" atau sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda yang dibantu Pasukan Sekutu.

Berikut adalah kisah perjuangan Pasukan Ciung Wanara di bawah pimpinan sang komandan, I Gusti Ngurah Rai, dalam pertempuran seru, tidak imbang, namun sarat semangat kebangsaan, sebagai salah satu kenangan menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti dikutip dari BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id.

I Gede Putu Abdiyasa, pemandu dan petugas museum Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Tabanan, menyambut kedatangan kru Beritabali.com beberapa waktu lalu. Inilah lokasi Puputan Margarana 1946.  Penuturannya membawa kenangan dan dokumentasi sejarah perjuangan para putra bangsa di Pulau Dewata untuk ikut menegakkan nama bangsa Indonesia. Dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Pada 18 November 1946, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai menyerang Tangsi NICA (Polisi Belanda) di Kota Tabanan.

Baca Juga: Pesona BMW 320i Touring M Sport dan BMW 330i M Sport yang Hari Ini Meluncur di Indonesia

Penyerangan ini berjalan sukses. Semua senjata dan amunisi yang ada berhasil dikuasai dan diambil pasukan Gusti Ngurah Rai.

"Sewaktu tangsi NICA diserang, Komandan Polisi Belanda yang memimpin bernama Wagimin. Ia berbalik haluan memihak para pejuang kemerdekaan yang berada di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang waktu itu menjabat Kepala TKR Divisi Sunda Kecil," jelas

Menurut Gede Putu Abdiyasa, suksesnya serangan ke tangsi NICA Belanda di Tabanan ini, tak lepas dari peran seorang sosok Srikandi, pejuang wanita bernama Lasti.

Sebelum penyerangan, I Gusti Ngurah Rai menugaskan Lasti untuk mendatangi Komandan Tangsi Nica di Tabanan dan melakukan komunikasi dengan Komandan Tangsi Wagimin.

"Belum banyak yang tahu, suksesnya serangan ke Tangsi NICA pada 18 November 1946 di Tabanan berkat peran seorang penghubung wanita bernama Ibu Lasti," tukasnya.

Baca Juga: Resmi Meluncur di Indonesia, Baterai All-New Nissan LEAF Garansi Delapan Tahun

Sebelum serangan, Lasti menghubungi Wagimin dan berusaha menyampaikan agar mau menyerahkan senjata dan amunisi yang ada di Tangsi NICA Tabanan. Pertemuan itu kemudian dilaporkan kepada I Gusti Ngurah Rai.

"Jadi Pak Wagimin yang komandan Tangsi NICA itu sudah tahu akan diserang. Pak Wagimin mau membantu para pejuang asal disiapkan pasukan penyerbu dari pihak Pak Gusti Ngurah Rai," jelas Gede Putu Abdiyasa.

Operasi 18 November 1946 ke Tangsi NICA Belanda di Tabanan berjalan sukses, semua senjata dan amunisi yang ada di tangsi NICA diserahkan kepada pasukan I Gusti Ngurah Rai.

Pasukan Ciung Wanara Dikukuhkan di Desa Ole Tabanan

Setelah penyerangan, pasukan bergerak mundur dan berencana ke arah timur kota Tabanan.

"Tapi karena truk yang akan menjemput pasukan tak kunjung datang, akhirnya pasukan Gusti Ngurah Rai kembali ke Desa Ole Tabanan. Pasukan tiba 19 November 1946 malam," jelas Gede Putu Abdiyasa.

Lukisan I Gusti Ngurah Rai [Istimewa].

Pasukan Ciung Wanara dibentuk Gusti Ngurah Rai pada 19 November 1946 di Desa Ole Tabanan. Ciung artinya burung beo yang melambangkan kepintaran, dan wanara itu diibaratkan tokoh Hanoman yang berani membela kebenaran.

"Jadi Ciung Wanara itu filosofinya pasukan yang mempunyai kepintaran, berani membela kebenaran," ungkap Gede Putu Abdiyasa.

Pasukan Gusti Ngurah Rai kemudian mengadakan acara syukuran di Pura Dalem Basa, Desa Ole, karena sudah berhasil menyerang Tangsi NICA di Tabanan dan merampas senjata di Tangsi Belanda.

"Ada pentas tari Janger yang meriah. Karena Pak Ngurah Rai jago pencak silat, maka beliau menampilkan atraksi pencak silat malam itu. Pasukan Ciung Wanara dikukuhkan di Pura Dalem Desa Ole dengan 96 orang anggota pasukan," ujar Abdiyasa.

Setelah acara syukuran selesai, beberapa anggota pasukan Ciung Wanara kemudian minta izin pulang untuk menengok keluarga yang rumahnya di dekat Desa Ole. Namun pasukan kembali dipanggil karena ada info pihak Belanda yang dijebol tangsinya di Tabanan sudah berada di Desa Tunjuk.

"Pak Ngurah Rai memanggil dan mengumpulkan lagi 96 orang anggota pasukan Ciung Wanara yang baru dibentuk dan bersiap menghadapi pasukan Belanda yang sudah berada di dekat Desa Ole.

Mencermati situasi, Gusti Ngurah Rai kemudian memerintahkan pasukannya untuk pindah ke Desa Kelaci yang berada di timur Desa Ole.

Pada 20 November 1946 pagi, diketahui pasukan Belanda sudah berada di dekat lokasi pasukan Ciung Wanara berada.

Pasukan Pindah ke Uma Kaang, Hindari Korban Sipil

Dengan pertimbangan agar tidak ada warga Desa Kelaci yang menjadi korban pertempuran dengan Belanda, Gusti Ngurah Rai dan Pasukan Ciung Wanara kemudian pindah lokasi ke area persawahan Uma Kaang.

"Jadi ada perintah pindah dari Pak Ngurah Rai dari area Desa Kelaci ke area persawahan Uma Kaang yang juga masih berada di wilayah Desa Kelaci," lanjut pemandu Gede Putu Abdiyasa.

Napak tilas perjuangan pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, Kamis (17/11). Diabadikan jauh sebelum pandemi COVID-19 [Suara.com].

Pada 20 November pasukan Ciung Wanara sejumlah 96 orang sudah siap menghadapi Belanda, dan Belanda sudah mendekati area pertempuran. Pasukan Belanda dari Denpasar juga didatangkan, pasukan Ciung Wanara dikepung di daerah Uma Kaang.

Kolonel I Gusti Ngurah Rai memilih area persawahan Uma Kaang karena posisinya lebih tinggi dibandingkan lokasi lain. Lahan persawahan di dataran tinggi itu ditanami jagung dan ketela rambat seluas 9 hektar.

"Kenapa dipilih lokasi yang lebih tinggi, karena efektif untuk jarak tembak. Terbukti pada pertempuran paginya pasukan Belanda dipukul mundur dan banyak yang tewas. Pasukan Belanda kemudian mundur dari arena pertempuran," lanjut Gede Putu Abdiyasa.

Belanda Pakai Pesawat Pengintai, Pertempuran Tak Seimbang

Kalah di pagi hari, pasukan Belanda kemudian menyerang lagi di siang hari dengan serangan pasukan yang lebih besar. Namun I Gusti Ngurah Rai sudah mengatur strategi perang dengan baik, serangan pasukan Belanda di siang hari ini kembali berhasil dipatahkan pasukan Ciung Wanara.

"Siangnya (pasukan Belanda) dipukul lagi, pasukan Belanda kemudian mundur lagi sampai Pasar Marga," urai Gede Putu Abdiyasa.

Karena perlengkapan perang Belanda yang lebih canggih, pada sore harinya Belanda mengirim pesawat pengintai jenis capung untuk mengetahui keberadaan pasukan Ciung Wanara Gusti Ngurah Rai yang bertahan di area persawahan Uma Kaang Desa Kelaci.

Pesawat capung yang mengitari lokasi pertempuran ditembak pasukan Ciung Wanara, dan Belanda akhirnya berhasil memastikan posisi pasukan Ciung Wanara.

Setelah pasukan pengintai, Belanda kemudian mengirim pesawat pengebom atau jenis bomber ke lokasi pertempuran dan menjatuhkan bom serta gas air mata.

"Pesawat bomber menjatuhkan bom dan gas air mata, pasukan Belanda dari darat juga ikut menggempur dengan kekuatan yang lebih besar. Bisa dibayangkan pertempuran itu jadi tidak seimbang," ujar Gede Putu Abdiyasa.

Meski mendapat serangan hebat dari darat dan udara, Gusti Ngurah Rai tidak mau meloloskan anggota pasukannya.

Komandan I Gusti Ngurah Rai Serukan Perang Puputan Margarana

Perintahnya pada sore hari adalah perang puputan atau sampai tetes darah penghabisan. Pada saat perintah itu keluar, semua anggota pasukan Ciung Wanara tidak ada di posisinya semula.

"Semua pasukan (Ciung Wanara) menyerang Belanda secara membabi buta sore itu, bisa dibayangkan, dengan menggunakan senjata rampasan, tidak di posisi masing-masing lagi, di sana pasukan Belanda jumlahnya lebih besar, pertempuran tidak seimbang, satu per satu para pejuang gugur ke pangkuan Ibu Pertiwi," ungkap Gede Putu Abdiyasa.

I Gusti Ngurah Rai pun gugur bersama anggota pasukan Ciung Wanara. Ia wafat setelah tertembak di bagian kepala oleh pasukan Belanda.

Pasukan Belanda juga menemukan Komandan Polisi Wagimin di lokasi pertempuran. Komandan polisi NICA Belanda yang sudah membelot ini ditemukan dalam kondisi selamat di lokasi pertempuran.

"Komandan Polisi NICA Belanda, Pak Wagimin, awalnya ditemukan masih selamat. Namun tidak mau membocorkan informasi terkait para pejuang, akhirnya dieksekusi Belanda di lokasi perang itu," ungkap Gede Putu Abdiyasa.

Puputan Margarana yang berjalan sengit akhirnya berakhir dan menewaskan seluruh anggota pasukan Ciung Wanara pimpinan Gusti Ngurah Rai yang berjumlah 96 orang.

Sementara dari pihak Belanda, jumlah pasukan yang meninggal diperkirakan mencapai 400 orang.

Suasana di Tabanan Bali kini, diabadikan di masa pandemi COVID-19 (Antara)

Pasca pertempuran, seluruh anggota pasukan Ciung Wanara yang gugur awalnya dibiarkan di lokasi pertempuran. Pihak Belanda hanya mengambil jenazah pasukannya yang meninggal di medan tempur.

"Pejuang yang gugur ditinggalkan di sini (Persawahan Uma Kaang) oleh Belanda, hanya pasukan Belanda tewas yang diangkut. Belanda tidak berani mendekati lokasi pertempuran karena takut masih ada pejuang yang hidup," tukasnya.

Masyarakat Desa Kelaci dipakai sebagai perisai hidup untuk bisa masuk ke lokasi pertempuran.

Jasad I Gusti Ngurah Rai dibawa ke Rumah Sakit Wangaya Denpasar untuk dimandikan dan dibawa ke Puri Carang Sari, Badung. Sementara anggota pasukan Ciung Wanara lainnya yang gugur diambil dan dibawa pulang oleh pihak keluarga masing-masing.

"Jadi di lokasi Puputan Margarana tidak disebut Taman Makam Pahlawan, tapi Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, karena semua jenazah pejuang dibawa pulang keluarga masing-masing, termasuk Pak Gusti Ngurah Rai," ujar Gede Putu Abdiyasa.

Mari tunduk sejenak, untuk mengenang jasa para pahlawan kita. Termasuk bagi Pasukan Ciung Wanara, I Gusti Ngurah Rai, dan seluruh komponen masyarakat yang membasahi Bumi Pertiwi dengan darah dan cinta mereka akan kemerdekaan Indonesia.  Dirgahayu Republik Indonesia ke-76.

Load More