SuaraBali.id - Upaya terbaru Pemerintah Provinsi Bali untuk mengurangi sampah plastik melalui Surat Edaran (SE) Gubernur No. 9 Tahun 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan pakar.
Meskipun niatnya untuk membersihkan Bali patut diacungi jempol, pilihan instrumen kebijakan dalam bentuk Surat Edaran dinilai tidak efektif dan lemah secara hukum, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keseriusan penegakan aturan lingkungan di Pulau Dewata.
Faktanya, kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter ini tidak memiliki taring.
Hal ini diakui sendiri oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali.
Baca Juga:Banyak Penyalahgunaan Izin PMA Skala UMKM di Bali Disebut Gara-gara Kewenangan Ada di Pusat
Pengamat kebijakan publik I Nyoman Subanda dari Undiknas menegaskan kelemahan ini.
“Ini yang disampaikan oleh DKLH dalam sebuah diskusi baru-baru ini, bahwa SE itu nggak ada sanksinya,” ujarnya.
Karena sifatnya yang hanya berupa imbauan, SE tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa.
“Jadi, SE itu nggak bisa mengikat dan nggak bisa ngasih punishment,” tutur Subanda mengutip Dinas Lingkungan Pemprov Bali. Menurutnya, untuk sebuah kebijakan lingkungan yang kokoh, diperlukan landasan hukum yang lebih kuat seperti Peraturan Daerah (Perda), yang tidak hanya mengikat secara hukum tetapi juga didukung oleh alokasi anggaran yang jelas.
“Yang paling mengikat itu Pergub atau Perda, karena itu memang harus ada persetujuan DPRD-nya,” tukasnya.
Baca Juga:OJK Berusaha Buat Regulasi Aset Kripto yang Ramah Agar Investor Tak Lari
Dari perspektif hukum tata negara, langkah ini juga dianggap cacat prosedur.
Pakar Hukum Tata Negara dari Unusia, Erfandi, menilai bahwa niat baik gubernur tidak bisa menabrak aturan yang ada.
“Salah satu prosedur dalam membuat keputusan di provinsi ataupun di Pemda itu adalah harus merujuk kepada aturan yang lebih tinggi. Itu sudah menjadi prinsip, sehingga tidak boleh kalau ada keputusan atau edaran dari gubernur yang kemudian bertentangan dengan aturan yang di atasnya,” ujarnya.
Erfandi bahkan memperingatkan bahwa pemaksaan kebijakan yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dapat memicu intervensi dari pemerintah pusat.
“Karena, kebijakan lingkungan daerah seperti ini bisa berbenturan atau tumpang tindih dengan peraturan pusat, dan mewujudkan ketidakpastian hukum,” katanya.
Pandangan ini diperkuat oleh pakar hukum administrasi Desi Sommaliagustina, yang menegaskan bahwa SE bukanlah produk perundang-undangan.