Tradisi Ngusaba Bukakak di Bali, Perpaduan 3 Sekte dalam Satu Upacara

Sementara itu, sarana yang ditempatkan di dalam Bukakak tersebut adalah seekor babi yang melambangkan Dewa Sambhu.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 23 Juli 2024 | 14:32 WIB
Tradisi Ngusaba Bukakak di Bali, Perpaduan 3 Sekte dalam Satu Upacara
Tradisi Ngusaba Bukakak [Website Desa Sudaji]

SuaraBali.id - Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, menjadi salah satu desa di Buleleng yang masih melestarikan tradisi unik, Ngusaba Bukakak.

Istilah Bukakak sendiri berasal dari kata Lembu (Lambang Siwa) dan Gagak (Lambang Wisnu). Bukakak diwujudkan sebagai seekor burung garuda yang terbuat dari ambu/daun enau muda dihiasi bunga kembang Sepatu.

Sementara itu, sarana yang ditempatkan di dalam Bukakak tersebut adalah seekor babi yang melambangkan Dewa Sambhu.

Babi ini diguling hanya bagian punggungnya saja, sedangkan bagian bawah dibiarkan mentah, sehingga babi ini nanti akan memiliki 3 warna, yaitu merah/bagian matang, hitam/bagian yang masih ada bulunya (Dewa Wisnu) dan putih/bagian yang masih mentah dan bulunya telah dihilangkan (Dewa Siwa).

Baca Juga:Mengapa Bali Menjadi Primadona Wisata Internasional

Dapat disimpulkan bahwa Bukakak ini merupakan simbol perpaduan antara Sekta Siwa, Wisnu dan Sambhu.

Dalam video Instagram Story akun @_pandeparell memperlihatkan secara jelas prosesi dari Upacara Ngusaba Bukakak di Desa Sudaji.

Masyarakat sekitar bergotong royong membawa seekor babi Guling yang ditempatkan pada Bukakak tersebut.

Mereka berlarian kesana kemari sembari membakar babi guling dengan obor yang dibawanya. Masyarakat yang ikut menyaksikan pun tak ketinggalan untuk mengabadikan momen tersebut.

Digelarnya tradisi Ngusaba Bukakak ini bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai dewi kesuburan, atas kesuburan tanah dan segala hasil pertanian yang melimpah.

Baca Juga:Nyepi Adat di Kesimpar Karangasem, Sunyi dari Pagi Hingga Sore

Upacara ini sudah ada sejak zaman dahulu dan digelar dua tahun sekali, pada bulan April atau bulan purnama sasih kedasa menurut kalender Bali.

Pada zaman dahulu upacara ini memang digelar setahun sekali, namun kini karena terkendala biaya, sehingga dilakukan dua tahun sekali.

Kontributor : Kanita

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak