SuaraBali.id - Pohon-pohon besar di Pulau Bali ini memang sudah tak terhitung lagi jumlahnya, lantaran sangat banyak. Bahkan beberapa ada yang diselimuti dengan kain saput poleng.
Pasalnya, masyarakat Bali percaya pemakaian Kain Saput Poleng pada pepohonan adalah bentuk penghormatan manusia pada penciptaNya.
Penghormatan ini ada karena pohon merupakan ciptaan Tuhan yang memberikan banyak manfaat, seperti oksigen, maupun sumber makanan untuk makhluk hidup lainnya.
Selain itu, masyarakat Bali juga percaya bahwa ada pohon-pohon tertentu yang memiliki energi dan dapat dirasakan oleh manusia.
Baca Juga:Bukannya Naik Mobil Mewah, Kirab Pengantin di Bali Ini Malah Naik Traktor
Salah satunya seperti Pohon raksasa di Banjar Bayan, Desa Tua, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Tak diketahui secara pasti apa nama dari pohon tersebut, namun masyarakat sekitar menyebutnya dengan pohon beringin hingga pohon Kayu putih.
Disebut Pohon Kayu Putih lantaran batang pohon ini berwarna putih. Pohon ini terlihat berbeda dan cantik.
Tingginya sekitar 50 meter dan diameter batangnya sekitar 6 meter. Bentuknya juga unik, karena akar-akar pada batang pohon membentuk pola batang yang cantik.
Pohon raksasa yang unik ini konon telah berusia lebih dari 500 tahun. Pohon ini tumbuh di belakang tempat suci yang bernama Pura Babakan yang dibangun pada jaman Raja Perean.
Nama Babakan dikaitkan dengan kulit kayu yang disayat dan dijadikan obat. Konon pohon raksasa ini dipercaya bahwa bagian kulitnya yang disayat (babakan) memiliki tuah menyembuhkan berbagai jenis penyakit, sehingga menjadi tempat memohon obat.
Baca Juga:Warga Bali Mengeluh Sudah Satu Bulan Solar Langka, Ini Jawaban Pertamina
Karena dianggap memiliki keistimewaan, pohon ini benar-benar dijaga, hingga warga rutin melakukan upacara setiap 210 hari sekali dengan menghaturkan sesaji sebagai tanda terima kasih dan syukur karena sudah bermanfaat bagi warga Desa Tua.
Tak hanya itu, masyarakat setempat juga kerap mendengar adanya alunan musik gamelan yang bersumber dari pohon raksasa ini.
Konon, menurut kepercayaan, gamelan tersebut berasal dari perangkat alat musik zaman perang yang tertimbun di bawah pohon.
Kontributor: Kanita Auliyana Lestari