SuaraBali.id - Eks Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti dituntut oleh Jaksa Penutut Umum dari KPK dengan pidana empat tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Denpasar, Bali, Kamis (11/8/2022).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti berupa pidana penjara selama empat tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata Jaksa Penuntut Umum Eko Wahyu Prayitno.
Bukan hanya pidana penjara, jaksa KPK juga menuntut pidana denda sebesar Rp110 juta subsidair tiga bulan kurungan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan.
Selain itu juga menuntut pidana tambahan terhadap terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.
Terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti dinilai PU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak korupsi bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan undang-undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang RI no 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) juncto pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama.
Sedangkan hal yang memberatkan perbuatan terdakwa yakni selaku kepala daerah/Bupati tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya.
Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti belum pernah dihukum.
Dalam sidang pembacaan tuntutan, Jaksa Penuntut Umum KPK menyebutkan mantan Bupati Tabanan Eka Wiryastuti dalam kapasitasnya sebagai bupati terbukti telah memerintahkan staf khususnya Dewa Nyoman Wiratmaja (terdakwa dalam berkas terpisah) untuk menyerahkan uang suap terkait pengurusan DID Tabanan 2018 yang mengalami defisit anggaran.
Jaksa mengungkap aliran dana suap yang diistilahkan dengan uang adat istiadat itu diserahkan terdakwa Dewa Wiratmaja yang merupakan staf khusus Eka Wiryastuti kepada dua eks pegawai Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo dan Rifa Surya dengan nominal uang sebesar Rp600 juta dan USD 55.300 secara bertahap pada 24 Agustus 2017, awal November 2017, dan 27 Desember 2017.
Sementara itu, pengacara Eka Wiryastuti mengatakan pihaknya akan menyiapkan pledoi pada sidang berikutnya untuk membantah tuntutan jaksa terhadap kliennya.
"Saksi ahli kami telah menjelaskan mens rea (sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan atau niat jahatnya) itu akan menjadi perbuatan tindak pidana apabila ada perbuatan. Eka tidak kenal dengan namanya Rifa Surya. Lalu kemudian, kalau penyuapan harus ada ucap kabul, ada interaksi antara yang disuap dan yang memberi suap," kata kuasa hukum Eka Wiryastuti, Gede Wija Kusuma saat ditemui usai sidang.
Terhadap tuntutan jaksa terkait pencabutan hak politik Eka Wiryastuti, Gede Wija Kusuma menganggapnya sebagai suatu tuntutan yang mengada-ada
"Ini kasus suap tidak merugikan keuangan negara," kata dia.
Selain itu, Gede Wija juga menyatakan istilah representatif yang dipakai Jaksa untuk menuntut kliennya adalah istilah yang tidak dikenal dalam tatanan hukum acara pidana, karena representatif itu masuk dalam hukum administrasi negara. (ANTARA)