SuaraBali.id - Ada banyak tradisi di Bali yang dilakukan secara turun temurun. Salah satunya dilakukan oleh masyarakat di Jimbaran, Badung.
Mereka memiliki tradisi yang disebut Ngerupuk atau sehari sebelum pelaksanaan tapa brata Penyepian dilakukan. Namun di Jimbaran lebih dikenal Jimbaran dengan nama Magegobog.
Ngerupuk maupun Magegobog, sesungguhnya merupakan hal serupa. Akan tetapi secara istilah masyarakat Jimbaran cenderung menerjemahkan Ngerupuk dalam arti menyeruduk.
“Maksud dari kata Magegobog ini sebenarnya dalah meramaikan tempat-tempat yang sepi dan sakral dengan bunyi-bunyian. Bahkan sejak jaman kakek masih kecil sudah ada Magegobog tersebut,” kata Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga kepada beritabali.com – jaringan suara.com saat dikonfirmasi belum lama ini.
Pelaksanaan Magegobog adalah untuk meramaikan tempat-tempat yang tadinya dianggap sakral. Sehingga dapat ditujukan untuk menetralisir kala sebelum melaksanakan catur bratha penyepian.
Dalam pelaksaan Magegobog digunakan sarana seperti kul-kul, Kekepuak, dan Tek-Tekan, kemudian unsur api yang digunakan Obor, Prakpak, serta Kesuna Mesui Jangu.
“Sehingga saat pelaksanaan Magegobog kul-kul desa atau banjar wajib dibunyikan. Sarana dan prasarana ini juga diwariskan sejak dahulu,” ujarnya.
Tradisi Magegobog ini sempat terhenti lantaran tergantikan dengan pawai ogoh-ogoh. Sebelumnya pengarakan ogoh-ogoh tersebut adalah pelengkap dalam pelaksanaan Magegobog.
“Ini sebenarnya bukan hal yang salah karena merupakan sebagai pengembangan dari seni dan kreativitas generasi muda. kami pun berupaya untuk menghidupkan kembali tradisi Magegobog,” katanya.
Setelah sempat meredup dengan adanya ogoh-ogoh, tradisi ini kembali digelar pada hari Pengerupukan. Khusus di Banjar Taman Griya ada penambahan Mepadu Telu.
Tradisi ini pun dikontruksi kembali sebagai sebuah kegiatan yang spesifik.
“Magegobog Mepadu Telu ini akan dilaksanakan oleh para pemuda kami. Mereka yang dibagi menjadi tiga kelompok, akan menyuarakan bunyi-bunyian secara berkeliling ke arah berbeda, dan mereka akan bertemu di satu titik. Nah, ini lah yang kami sebut mepadu telu,” paparnya.
Pertemuan tiga kelompok tersebut juga dimaknai sebagai pertemuan tiga unsur. Seperti unsur air, api, dan angin.
Pertama kelompok yang membawa api dan air akan bertemu di Catus Pata Banjar Taman Griya. Pertemuan tersebut akan direkrontruksi sebuah pertunjukan.
Kemudian kelompok yang membawa kipas dari simbol angin juga akan hadir dalam pertemuan tersebut.
“Jadi nanti akan ada semacam perang unsur air dengan api, yang kemudian dinetralisir oleh angin. Ini juga kita ambil dari cerita Adi Parwa, dimana ketika Brahma dan Wisnu bersitegang dan menunjukkan kekuatan masing-masing, maka hadirlah Siwa sebagai simbol Dewa Angin. Karena dengan angin, air ataupun api bisa besar. Dan oleh angin pula, api bisa padam dan air bisa kembali tenang,” bebernya.
Secara filosofis, pertemuan tersebut juga dimaknai sebagai sebuah cara untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Itu senada dengan tema yang diangkat dalam Magegobog Padu Telu, yakni Rumaruh Wiweka Jati (Rumaruh adalah mencari, Wiweka adalah kebenaran logika, dan Jati adalah sesungguhnya).