Nyepi Dan Perang Melawan Hasrat Bermedia Sosial

Bila dihitung pada kalender Masehi, Nyepi pada tahun ini jatuh pada 3 Maret 2022 mendatang.

Eviera Paramita Sandi
Senin, 28 Februari 2022 | 16:55 WIB
Nyepi Dan Perang Melawan Hasrat Bermedia Sosial
Warga mengamati Ogoh-ogoh berjudul Gerubug karya kelompok pemuda ST. Tunas Muda di Sidakarya, Denpasar, Bali, Minggu (27/2/2022). Ogoh-ogoh yang akan diarak pada malam pengrupukan atau sehari sebelum Hari Raya Nyepi yang terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan serta masker untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat selama masa pandemi COVID-19. [Foto : ANTARA : Fikri Yusuf]

SuaraBali.id - Setiap tahun sekali umat Hindu akan merayakan hari suci Nyepi dan melakukan catur brata penyepian. Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1944 akan jatuh pada "penanggal pisan" (tanggal satu) sasih "kedasa" (10) atau tepatnya sehari sesudah "tilem" (bulan mati) "kesanga" (sembilan) sesuai dengan perhitungan kalender Saka.

Bila dihitung pada kalender Masehi, Nyepi pada tahun ini jatuh pada 3 Maret 2022 mendatang.

Umat Hindu di seluruh Indonesia pada umumnya merayakan Nyepi. Hiruk pikuk ritus Nyepi akan dirasakan sejak "melasti" atau ritual mengiring pratima/arca ke laut hingga tuntas pada "ngembak geni" yang dimaknai menjaga api persaudaraan sesama manusia (sosiologis).

Seperti tahun sebelumnya, perayaan Nyepi tahun ini tidak jauh berbeda. Nyepi di masa pandemi COVID-19 tak memberikan keleluasaan gerak umat Hindu dalam hal mengespreksikan laku spiritualnya dalam ritus keberagamaan.

Salah satu yang mendapatkan sorotan di media sosial adalah kebijakan pelarangan pawai ogoh-ogoh saat "pengerupukan" atau sehari menjelang Nyepi. Hal tersebut dilontarkan oleh Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet yang menilai bahwa kondisi COVID-19 belum dalam kondisi melandai dan masih mengalami peningkatan kasus ekstrem (Antaranews Bali, 15/2/2022).

Pun akhirnya, kebijakan tersebut akhirnya berubah dua hari kemudian (17/2/2022) setelah muncul pernyataan dari Gubernur Bali Wayan Koster yang menyatakan bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melaksanakan pawai/pengarakan ogoh-ogoh. Namun, hanya pada tingkat banjar (dusun) saja.

Ramai dan riuh pembahasan ogoh-ogoh menjelang Nyepi pada berbagai lini masa media sosial (medsos) ternyata tidak sebesar keinginan dan hasrat pengguna atau warganet dalam upaya memaknai Nyepi secara lebih dalam (kontemplatif). Masyarakat ternyata memang lebih suka hal friksi bercampur "framing" (memberi bingkai) sensasi dibandingkan hal yang lebih mengandung urgensi "substansi".

Masyarakat medsos tampaknya telah terbiasa mengesampingkan faktor itu (substansi) dengan hal remeh temeh. Mengutip Antaranews (28/2) bahwa dunia maya memang lebih banyak melakukan "framing" (memberi bingkai) untuk fokus pada hal-hal tidak penting/benar.

 Adapun substansi sesungguhnya menjadi jauh. Keadaan di "kampung maya" akan berbusa-busa masalah contoh. Berbeda dengan keadaan di dunia nyata yang terlihat jauh berbeda.

Bagaimana sebenarnya umat Hindu memaknai Nyepi? Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), lembaga/majelis tertinggi umat Hindu di Tanah Air menyatakan bahwa dalam konteks religius, Nyepi merupakan proses penyucian "bhuwana Agung" (alam semesta) dan "bhuwana alit" (diri manusia) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (www.phdi.or.id).

Selain itu, pada aspek sosial budaya, Nyepi dapat dimaknai sebagai wahana integrasi umat, terlihat saat umat Hindu bersama-sama melaksanakan setiap derap langkah keberagamaan dalam bingkai upakara (ritual).

Selanjutnya, aspek tata susila (etika), Nyepi dimaknai sebagai laku kerja sesuai dengan teks dalam susastra Hindu dimana melalui kerja yang baik (subha karma), manusia akan dapat menolong dirinya sendiri dari "samsara" atau kelahiran berulang-ulang menuju alam pembebasan (moksa).

Mari menelusuri makna Nyepi secara lebih substantif lagi. Jika dicari ekstraksi/makna paling dalam dari istilah penyucian diri, integrasi diri, pemaknaan laku kerja akan berujung pada satu konsep yakni "pengendalian diri". Adapun pengendalian di sini adalah usaha untuk melawan ego dalam diri.

Bagaimana Hindu memandang ego? Mengutip dari Kamus Filosofi Hindu Britanica bahwa istilah ego dikenal dengan "ahamkara". Dalam istilah Bahasa Sansekerta dimaknai "aku berkata," atau "aku membuat".

Selanjutnya, dalam "samkhya" (salah satu aliran filsafat Hindu), "ahamkara" mengacu pada harga diri yang berlebihan atau egoisme.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini