SuaraBali.id - Pemucuk Kongco Dwipayana Tanah Kilap, Ratu Ida Bagus Adnyana, menceritakan kisah pengalaman menarik mengenai sejarah berdirnya Kongco yang terletak di perbatasan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Bali tersebut. Menurutnya Griya Kongco atau Ling Sii Miao ini berdiri tak lepas dari Wahyu “Alam Atas” dari Sang Dewa yang ia terima.
Kongco Dwipayana yang mulanya hanya sebuah nama tanpa bentuk bangunan kemudian berdiri atas dasar wahyu yang diterima Atu dan ia sebut sebagai petunjuk dari “Alam Atas”.
Saat usianya menginjak 40 tahun-an, Atu yang sejak lahir menganut keyakinan Hindu, terpilih mendapatkan wahyu dari Alam Atas tersebut untuk mengemban misi sebagai Siwa Buddha, Sinkretisme antara Hindu dan Buddha, saat itu ia menekuni ajaran Shiva-Buddha.
“Asal mula saya Hindu, sekarang menganut Siwa Buddha, saya pun tidak tahu, alam atas kenapa saya dipilih mengemban misi ini, saya termasuk pilihan alam atas. Merasakannya sama seperti kita saling berbicara, mendapatkan bimbingan, susah diterima, tapi ini kenyataan, bagi meyakini silakan tidak meyakini silakan,saya tidak ingin bilang siapa tapi ada (Dewa,-red) dari alam atas, Dewa muncul tidak mudah, beliau mohon restu ada izin,” kata Atu saat dijumpai SuaraBali.id di Kongco setempat, pada Minggu (30/1/2022).
Ia kemudian dituntun oleh Alam Atas tersebut menjalankan sebuah misi untuk mencari petunjuk di hutan-hutan dan gunung-gunung, tidak hanya di Bali saja, melainkan hingga Pulau Jawa, salah satunya adalah Alas Purwo.
Terpilih menekuni ajaran Siwa Buddha mengemban misi tersebut, menurut Pemucuk yang kini sudah menginjak kepala tujuh itu, ia mengemban tugas dan tanggung jawab dari Alam Atas yang sangat berat.
Atu kala itu masih berusia 40-an bersama sang istri dan dua orang pengiring pembawa sarana persembahan memasuki hutan-hutan menjalankan misi dari alam atas, bahkan pernah terlintas dipikirannya untuk berhenti dan putus asa, namun Atu tak bisa meninggalkan petuah yang ia sebut "beliau" itu.
Petunjuk-petunjuk dari Alam Atas yang dialami Atu pun membuahkan hasil dengan berdirinya Kongco Dwipayana Tanah Kilap ini pada tahun 1999 dan mulai dibangun sejak tahun 1990.
“Saya mengemban misi beliau (Dewa,-red) tahun 1987, 30 tahun mengemban misi beliau di sini, Kongco ini dulu hanya nama, belum terwujud, belum ada bentuknya, saya menjalankan misi dari tempat suci satu ke tempat suci lainnya, memasuki hutan yang sama sekali saya belum tahu medannya, beresiko, naik gunung, menjalankan itu di usia 40-an, mungkin saat dirasa saya siap saat usia itu, saat itu saya terpilih," ujarnya.
Kongco yang dulu hanya sebuah nama dan kini berdiri megah di atas tanah seluas 9 are ini diyakininya berkat segala laku misi yang Atu lakukan atas petunjuk Alam Atas.
Segala urusan pun dipermudah hingga mendapatkan izin mudah dari departemen kehutanan untuk mendirikan Kongco. Setelah itu dukungan umat pun mengalir.
“Ini juga merupakan restu Alam Atas, Beliau Alam Atas menyebut Kongco ini Istana Kecil Yang Indah dengan segala konsepnya ini dari Alam Atas yang memberikan gambaran kepada saya. Tanah Kilap ini memang tempat beliau, pilihan beliau, membangun tempat suci tidak mudah, apalagi ini tanah milik negara, namun akhirnya semua dimudahkan atas tuntunan beliau hingga Kongco ini berdiri sebesar ini dan terus berkembang, bahkan pemerintah juga memberikan tambahan tanah bagi kami untuk bangunan baru nanti,” paparnya.
Terpilih sebagai Siwa Buddha membuatnya merasa memiliki laku dan pikiran yang lebih positif, lebih berbudi pekerti, welas asih dan mampu meredam emosi. Meskipun di awal mengemban misi dari Alam Atas, di tengah jalan, Atu sempat ingin menyerah menjalani misi tersebut.
“Saya sempat hampir putus asa mengemban misi ini, kok begini-begini saja namun ada rasa tidak mampu meninggalkan, mungkin saat itu kesabaran sedang diuji. Dahulu masa muda saya banyak kekurangan, sekarang belajar welas asih, budi pekerti, saya dulu emosi tinggi, dapat misi dari beliau siwa budha, saya malu pada diri banyak kekurangan kita, kita tidak ada apa-apanya,” ungkapnya.
Di dalam Kongco Dwipayana ini terdapat altar kolam 7 Dewi, Gedung Utama, Altar Dewa , Pagoda berisi patung Dewi Kwan Im Lengan Seribu. Sedangkan di luar pagar bangunan bercorak merah emas ini dikelilingi Singa-Singa penjaga Kongco, Gajah Malikii, Gajah Palii dan terdapat Panglima Perang di dalamnya, yakni Panglima Tio Kei dan Panglima Lau Im, Gedong Panglima Emas Huang Cin Chua serta Ornamen Naga di dalam Kongco yang memiliki makna kesejahteraan.
Selain itu, di dalam Kongco juga terdapat pula Pelinggih Padmasana Ratu Gede Pengenter Jagat Ratu Ma Rajeg Bumi yang menjadi simbol akulturasi Hindu - Buddha dan juga Konghucu yang dikatakannya memiliki satu kesatuan dari Sang Alam Atas. Kongco ini berlokasi di tepi sungai Tanah Kilap Jalan By Pass Ngurah Rai, tidak jauh dari Simpang Siur dan Mall Bali Galeria.
Tradisi Imlek
Umat di Griya Kongco Dwipayana (Ling Sii Miao) melakukan berbagai persiapan menyambut Hari Raya Imlek 2573 yang jatuh pada Selasa (1/2/2022). Pihak Kongco telah melakukan sembahyang mengantarkan Dewa ke langit dan pencucian Rupang (patung dewa-dewi Buddha).
Rupang tersebut dibersihkan menggunakan air suci dari air cendana. Patung dewa yang disucikan diantaranya Dewa Rumah Ong Tay Jen, Dewa Kwankong, Patung 7 Dewi dan lainnya. Selain itu, juga tampak aktivitas pembersihan gedong-gedong menjelang Hari Raya Imlek.
Atu menuturkan, puncak malam pergantian tahun baru Imlek pada Senin (31/1/2022) dilakukan sembahyang bersama menutup dan membuka tahun, dan pementasan Barongsai, ada 5 ekor barongsai dan 1 Liong (Naga) bermain, sebelum bermain mereka disembahyangkan.
“Tradisi Imlek awal itu Sembahyang menghantar para dewa yang kita sucikan di sini naik ke langit setelah itu dilanjutkan bersih-bersih Dewa, setelah itu tanggal 30 januari ini finish persiapan tersebut menyambut Imlek, tanggal 31 Januari sembahyang bersama menutup tahun ini dan membuka tahun yang akan datang diiringi tetabuhan kesenian Barongsai ini diyakini memberikan jalan kemakmuran,” ucapnya.
"Pandemi tetap berjalan, kalau Kongco kan sifatnya tidak berkerumun umat datang dan pergi sembahyang tidak bersamaan. Saat Hari H itu sifatnya personal, malam pergantian tahunnya ada sembahyang bersama menutup dan membuka tahun dan kesenian Barongsai,” sambung dia
Bahkan, dalam menyambut Imlek, beberapa hari sebelumnya Atu pantang memakan segala jenis daging, sedangkan istrinya memiliki keyakinan untuk tidak makan daging sama sekali sejak puluhan tahun silam.
“Kalau jelang imlek saya khusus, tidak makan segala jenis daging di hari – hari tertentu seperti Imlek, Purnama, bulan penuh, bulan kosong, dan hari hari dewa, saya wajib sebagai sarana pembersihan diri saya sebagai pemucuk,tapi untuk umat lain itu tidak dipaksakan, bahkan istri saya sudah puluhan tahun tidak tersenuh daging, tapi kembali ke diri masing-masing,” tuturnya.
Di samping itu, pada Tahun Macan Air ini, Atu berpesan agar orang kuat tidak menjadi sombong, tidak takabur, tidak lupa diri atas kekuatan yang dimiliki, demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.
“Bagi saya tiap shio kehidupan ada plus minusnya, kembali kepada diri kita bisa berpikir positif dan bersih menghadapi sesuatu, Tahun Macan melambangkan semangat dan kekuatan tapi jangan merasa diri kuat, lalu lupa diri,” pesannya.
Barongsai Pertama di Bali dan Pernah Diancam di Era Soeharto
Perjalanan kesenian Barongsai di Indonesia sempat menemui jalan terjal, Barongsai sempat dilarang pada Masa Orde Baru hingga Reformasi, ada cerita menarik dari Atu. Atu mempertaruhkan segalanya demi mempertahankan kesenian Barongsai dan kebudayaan Buddhis maupun Konghucu saat itu.
Dan kala itu juga, demi mempertahankan sebuah papan nama Kongco karena tidak ingin menurunkan papan nama tersebut, Atu pun pasang badan. Atu mengaku sampai pernah mendapatkan ancaman dan didatangi departemen agama kala itu.
“Saya pernah diancam, tulisan papan nama semua klenteng dipaksa minta turunkan arahan dari pemerintah pusat, namun saya bergeming tidak mau menurunkan, saya didatangi departemen agama dan diancam akan ditahan, Atu pasrah saja, kalau mau menurunkan silakan tapi Atu tidak mau menurunkan, tapi kenyataannya tidak apa-apa,” tuturnya.
Setelah masa situasi politik terlewati tahun 1998, Atu mulai menghidupkan kembali kesenian Barongsai di Bali, cikal bakal itulah salah satu hal yang membuat Barongsai di Pulau Dewata masih lestari hingga saat ini dan perkumpulan barongsai kembali bermunculan.
Di era modern in, Barongsai Kongco Dwipayana itu dilestarikan oleh Steven Hans selaku Ketua Tim Barongsai berjuluk Mutiara Naga ini dan Jordan sebagai wakilnya.
Untuk bergabung dengan tim Barongsai, tak hanya etnis Tionghoa penganut agama Budha atau Konghucu namun terbuka bagi semua keyakinan lain, untuk turut berkesenian Barongsai tanpa syarat apapun dan tidak dipungut biaya.
Dari catatan sejarah ribuan tahun silam saat Dinasti Chin Barongsai dibedakan menjadi dua jenis, Fo Shan atau Fat San dengan model menyerupai singa dan Hok Shan berbentuk menyerupai bebek serta Liong atau Naga.
Barongsai tidak hanya ditampilkan untuk pentas saat Imlek saja melainkan juga dalam perkembangannya mulai diperhitungkan dibelantika olahraga nasional, bahkan menjadi pekerjaan untuk menambah penghasilan.
“Sekarang Barongsai juga dipertandingkan dalam olahraga seperti di dalam PON, namun kami belum ke sana, yang kami lakukan saat ini terus berlatih, mengisi pentas-pentas seperti Imlek atau kalau ada job, sekali main 30 menit dengan tarif Rp 3 juta, nanti hasilnya untuk Dana Punia Kongco, Kas, Operasional, baru dibagi 9 orang,” ujar Steven Hans
Sementara itu, Jordan mengaku jiwanya tertarik bergabung dengan dalam tim barongsai karena menyaksikan barongsai sudah menjadi kegemarannya sejak kecil, ia kerap diajak orang tua menonton barongsai dan saat menginjak usia remaja tahun 2016 lalu ia memutuskan untuk terjun bermain barongsai.
Di tengah kesibukannya menempuh bangku kuliah, ia menyempatkan waktu untuk berlatih mematangkan gerakan-gerakan yang harmonis dan selaras dengan iringan musik khas barongsai.
Dalam satu tim terdapat 8 hingga 9 orang untuk 2 ekor barongsai dan 4 pemain musik tambur/drum, simbal/ceng ceng dan gong/kenong.
Mereka juga merawat Barongsai secara kolektif menggunakan dana kas yang terukumpul, terlebih menjelang tahun baru Imlek, mereka melakukan perawatan dan latihan lebih intensif untuk penampilan yang matang saat malam pergantian tahun.
“Perawatan Barongsai rutin dilakukan salah satunya mengganti bulu biar tetap bagus dilihat dan bersih, saat main bisanya melakukan sembahyang bersama untuk kelancaran dan makna barongsai memberikan jalan kemakmuran,” ungkap Jordan.
Kontributor : Yosef Rian