SuaraBali.id - Gunung Agung di Pulau Bali erupsi pada. Pasca erupsi, muncul berbagai fenomena alam mulai hujan pasir hingga hujan abu. Warga Bali yang mempunyai pengalaman melihat langsung fenomena letusan Gunung Agung ini, Made Suganda, menceritakannya dalam buku "Bali Jadul" yang disusun oleh Putu Setiawan.
Sebagaimana dilansir beritabali.com – Jaringan Suara.com, Inilah penuturan Suganda dalam buku tersebut : Pada suatu hari setelah 2 atau 3 hari (kalau saya tidak salah) bencana itu betul-betul datang. Yang pertama kali adalah hujan biasa yang begitu lebat.
Setelah itu disusul dengan hujan pasir yang berlangsung cukup lama. Bisa dibayangkan ketika itu ada hujan pasir yang mana ukurannya dari halus sampai dengan berukuran sekitar 50 milimeter.
Pada saat kendaraan bermotor sangat jarang, baik itu sepeda motor maupun mobil. Untuk mobil pribadi sangat jarang sekali. Kalau di Kota Bangli mungkin sejumlah jari tangan kanan saja (5 buah).
Oleh karena itu saat terjadinya bencana hujan pasir maupun hujan abu tidak banyak korban material di kota tempat saya tinggal yaitu Kota Bangli. Setelah turunnya hujan pasir maka secara rutin tiap hari hampir selalu terjadi hujan abu dalam tempo yang cukup lama.
Kejadian ini berlangsung terus menerus, berhari-hari, berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Beberapa lama kemudian setelah Gunung Agung meletus, masih di tahun 1963, masyarakat banyak mulai merasakan akibatnya dari erupsi Gunung Agung tersebut.
Tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanan mulai mengalami masalah. Satu persatu dan berkelanjutan, tanaman, tumbuhan menjadi mati. Panen padi maupun palawija gagal total dalam berkali-kali periode. Peristiwa alam ini menjadi sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat saat itu.
Cadangan pangan dalam semua bentuk bukan hanya terbatas namun juga minus atau kekurangan. Perayaan hari suci dan upacara yang pada jaman itu biasanya berlangsung memang sangat sederhana, tetapi akibat bencana tersebut terselenggara dengan apa adanya.
Seingat saya, orang tua saya tidak pulang kampung ke Klungkung saat ada upacara "piodalan" di kampung halaman. Hal tersebut berlangsung selama hampir 3 kali piodalan (kurang lebih 1,5-2 tahun).
Setelah beberapa minggu atau bulan dari saat Gunung Agung meletus, maka mulailah tumbuh berbagai jenis penyakit, mulai dari penyakit kurang gizi, penyakit pernafasan, penyakit kulit, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat di sore hari setelah beberapa hari atau minggu letusan Gunung Agung, ada sekelompok orang dengan tertatih-tatih datang ke Balai Banjar Kawan yang berlokasi persis di depan Rumah Sakit Umum Bangli (saat ini di jalan Kusumayudha Bangli). Setelah saya amati ternyata kebanyakan dari mereka menderita luka bakar seperti kaki melepuh dan ada juga yang sampai ke perut dan pinggang. Keadaan mereka sangat mengenaskan.
Tidak berselang beberapa lama, beberapa kelompok orang yang terdiri anak-anak, dewasa dan orang tua laki dan perempuan juga masuk ke balai banjar.
Pada saat itu balai Banjar Kawan hanya terdapat dua bangunan yang melajur ke barat di tepi jalan dan yang satu lagi bangunan yang sama memanjang dari utara ke selatan. Bangunan tersebut terdiri dari 8 pilar dengan kontruksi bangunan ada balai-balainya yang menyatu dengan pilar-pilar bangunan. Di balai-balai tersebutlah kelompok orang yang akhirnya saya tahu adalah pengungsi dari daerah terlanda lahar letusan Gunung Agung dibaringkan.
Setelah beberapa saat mereka berbaring di balai banjar kemudian dibawa satu persatu ke Rumah Sakit Umum Bangli yang ada persis di depan sebelah selatan balai banjar Kawan.
Perasaan saya sangat miris dan sedih melihat kondisi mereka. Kebanyakan dari mereka mengalami luka bakar akibat terkena lahar panas yang melanda rumah atau desa mereka.