SuaraBali.id - Politisi yang juga putra daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) Fahri Hamzah membagikan kisah masa kecilnya saat menempuh pendidikan. Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia itu merasakan betul ketimpangan akses pendidikan di daerahnya dengan di daerah lain.
“Saya lahir di sebuah desa kecil di Sumbawa, saat itu harus naik bus dua jam lebih baru bisa sampai ke kota,” katanya saat menjadi pembicara dalam seminar pendidikan di Yayasan Anak Bangsa, Lombok Tengah, Selasa (23/11/2021).
Di hadapan para guru dan siswa, mantan Wakil Ketua DPR RI itu menyorot soal infrastruktur Pendidikan yang masih belum merata. Menurutnya, hal inilah yang menjadi akar tidak meratanya sebaran makna keadilan.
“Saya juga sebenarnya lebih parah jika dibandingkan teman-teman yang di sini. Saat saya masih SD dan SMP, kampung saya masih gelap, belum dialiri listrik. Kadang-kadang saya tidak dapat membaca di malam hari karena keterbatasan lampu,” tukasnya.
Ia menyebarkan semangatnya untuk bersekolah. Obsesinya untuk menjadi orang besar salah satunya didorong oleh ikhtiarnya yang ingin menunjukkan bahwa seorang anak desa juga bisa didengarkan oleh seluas-luasnya orang.
Fahri juga menyorot soal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB jika dibandingkan dengan 34 provinsi yang masih berada pada urutan buncit. Ia menyebab bahwa provinsi tempat kelahirannya itu adalah ‘ironi’.
“Di antara sebab-sebabnya adalah pendidikan yang belum masif, semengat orang untuk bersekolah apalagi mendirikan sekolah belum memadai,” sebutnya.
Kedatangan Fahri Hamzah ke sekolah Yayasan Anak Bangsa tersebut adalah dalam konteks memberikan semangat kepada para pendidik dan siswa agar mampu tumbuh sebagai generasi yang mumpuni. Tekad yang kuat untuk membawa arus perubahan, kata Fahri jadi modal kuat untuk mencapai tujuan.
Yayasan Anak Bangsa sendiri merupakan sebuah sekolah yang didirikan secara swadaya. Dahulu, sekolah ini hanya dipusatkan di sebuah rumah dengan hanya enam siswa, lambat laun tumbuh menjadi sekolah mampu berdaya saing.
“Itulah yang ingin saya sampaikan, tentang semangat, impian dan cita-cita. Sebesar apapun keinginan kita, kalau kita cantumkan dalam niat kita, serta kita doakan, maka kita akan sampai,” tegas Fahri.
Politisi senior yang pernah mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra 2020 oleh Presiden Joko Widodo ini juga menyatakan bahwa salah satu hal yang sedang di alami bangsa ini adalah soal defisit kepercayaan diri. Menurutnya, pendidikan harus mampu menjadi suluh dalam kelam guna mengatasi persoalan apapun dalam konteks kebangsaan.
“Perkuat sesuatu yang berasal dari dalam, tiga hal yang dapat membangkitkan kepercayaan diri adalah pertama banyak membaca, menjaga Kesehatan, dan yang ketiga adalah membesarkan jiwa.
Selepas lulus dari SMA Muhammadiyah Sumbawa, pria yang dikenal tegas ini sempat merasakan bangku kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Mataram (Unram). Namun, ia memutuskan untuk keluar daerah berkelana hingga akhirnya melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia (UI).
Momen inilah yang menjadi salah satu tonggak awal pesatnya tradisi intelektual Fahri. Visi besar yang memang selalu ia pegang teguh sebagai anak desa ia perkokoh dengan asupan-asupan yang berkelas: membaca, membangun raga, dan membangun jiwa.
“Makanya founding father kita ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang ia canangkan sebagai arah orientasi pembangunan bangsa adalah bangunlah jiwanya, bangunlah, “ ujar Fahri.
Menurutnya membaca adalah perintah pertama yang turun dari langit ke bumi. Tradisi membaca telah hadir dan menyeruak membawa beragam kisah heroik perubahan yang dicatat peradaban.
Membangun raga (Kesehatan) membawa makna proteksi terhadap pikiran. Sebab jika badan tidak kuat, kita akan terhindar dari intimidasi yang memabngkitkan kepercayaan diri.
Terakhir, membangun jiwa, kata Fahri bermakna teologis. Anasir ini menjadi penjaga yang senantiasa mengingatkan tentang posisi sebagai makhluk atau hamba Tuhan.
Terakhir, ia berpesan kepada siswa sekolah Yayasan Anak Bangsa agar mampu menciptakan kisah inspiratif bahwa lahir dari tempat yang tertinggal bukan berarti hambatan untuk meraih mimpi. Fahri menyebut, bahwa dialah bukti ihwal lilin kecil yang berasal dari desa bisa tetap menyala hingga Ibukota.
Kontributor : Lalu Muhammad Helmi Akbar