SuaraBali.id - Asal usul terbentuknya selat Bali dikaitkan dengan kisah satu tokoh yang bernama Manik Angkeran. Cerita rakyat Bali ini sangat erat dengan kisah Selat Bali. Simak kisah cerita rakyat Bali Manik Angkeran.
Manik Angkeran merupakan anak seorang Brahmana sakti namun karena keserakahan anaknya yang gemar berjudi.
Seperti apakah awal mula terbentuknya selat Bali dalam cerita rakyat Manik Angkeran? berikut ini adalah ceritanya Manik Angkeran adalah putra seorang Brahmana bernama Sidhimantra.
Mereka tinggal di Kerajaan Doha, Bali. Waktu itu, Pulau Bali belum berpisah dengan Pulau Jawa Manik Angkeran adalah anak yang cerdas. Sayangnya, ia mudah dipengaruhi oleh teman-temannya.
Baca Juga:Cerita Rakyat Bali Danau Batur dan Sosok Kebo Iwa yang Besar, Pemarah, Namun Baik Hati
Suatu hari, Manik Angkeran melihat orang-orang yang sedang berjudi dan menyabung ayam. Ia amat tertarik.
“Wah, tak perlu bekerja keras untuk bisa kaya. Cukup bermodalkan seekor ayam saja!” pikirnya. Ia lalu pulang dan memecahkan celengannya untuk membeli seekor ayam jago yang besar dan kuat.
“Ayam ini pasti akan menghasilkan banyak uang untukku,” katanya senang. Keesokan harinya, Manik Angkeran mulai menyabung ayam. Ternyata benar, ayamnya selalu menang. Ia mendapatkan banyak uang. Manik Angkeran puas sekali. Esok ia akan kembali lagi menyabung ayamnya. “Jika begini terus, aku bisa cepat kaya,” pikirnya.
Ternyata tidak semudah itu. Pada hari kedua dan seterusnya, ayamnya mulai sering kalah. Apalagi banyak ayam-ayam baru yang muncul di arena sabung ayam.
Baca Juga:Cerita Rakyat Bali Calon Arang, Kisah Janda Tua Sakti Jadi Leak
Mereka mengalahkan ayamnya dengan mudah. Dalam sekejap, uang Manik Angkeran pun ludes.
Ia bahkan harus berhutang untuk membayar kekalahannya. Namun itu tidak membuatnya jera. Ia terus berjudi dan menyabung ayam.
Lama-kelamaan, Manik Angkeran mencuri harta ayahnya untuk membayar utang-utangnya.
Sidhimantra yang mengetahui hal itu berkata, “Anakku, berjudi tak akan bisa membuatmu kaya, justru akan membuatmu miskin. Berhentilah selagi belum terlambat.”
Namun Manik Angkeran tidak peduli. Lambat laun, harta ayahnya pun habis untuk membayar utang.
Ia lalu merengek, “Ayah, tolonglah aku. Mereka akan membunuhku jika aku tak membayar hutang.” Ayahnya menghela napas. Harta mereka sudah tak bersisa. “Apa yang harus kulakukan untuk menolong anakku?” pikirnya. Ia tak mau anak semata wayangnya itu mati sia-sia.
Sidhimantra berdoa memohon petunjuk pada Dewata. “Temuilah Naga Besukih di Gunung Agung. Mintalah sedikit hartanya untuk membayar utang-utang anakmu,” tiba-tiba terdengar bisikan gaib.
Sidhimantra pun bergegas menuju Gunung Agung untuk bertemu dengan Naga Besukih.
Sesampainya di Gunung Agung, Sidhimantra membunyikan genta seperti petunjuk dalam mimpinya. Naga Besukih yang mendengarnya pun keluar.
“Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu?” tanya Naga Besukih.
“Aku Sidhimantra. Maksud kedatanganku adalah untuk meminta bantuanmu membayar utang-utang anakku, Manik Angkeran. Hartaku sudah ia habiskan. Anakku akan dibunuh jika tidak melunasi utang-utangnya,” jawab Sidhimantra.
Setelah berpikir sejenak, Naga Besukih menyanggupi permintaan Sidhimantra. Ia masuk ke dalam guanya dan keluar dengan membawa sejumlah emas dan batu permata. Sidhimantra mengucapkan terima kasih dan berpamitan pulang.
Sidhimantra menyerahkan semua harta itu pada anaknya.
“Pergilah dan melunasi semua hutangmu. Kini kau bisa memulai hidup baru,” kata Sidhimantra. Namun Manik Angkeran menggunakan harta itu untuk kembali berjudi. Ia terus berjudi sampai harta itu terkuras habis. Ia kembali berhutang untuk membayar kekalahannya dan kembali dikejar-kejar orang.
“Maaf Ayah, uang yang Ayah berikan padaku sudah habis. Kini aku berhutang lagi, bahkan dalam jumlah yang Iebih besar,” rengek Manik Angkeran lagi pada ayahnya. “Aku tak bisa menolongmu lagi. Aku sudah berusaha menolongmu, tapi kau malah melukai perasaanku,” kata Sidhimantra menahan marah.
Manik Angkeran bingung. Ia tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Saat melamun, tiba-tiba matanya terpaku pada sebuah genta kecil. “Genta? Untuk apa genta ini? Apakah genta ini laku dijual?” tanyanya dalam hati.
Manik Angkeran membawa genta itu ke pasar. Di sana ia bertemu temannya dan menunjukkan genta itu padanya. “Manik, aku dengar genta ini adalah genta ajaib. Genta ini digunakan untuk memanggil Naga Besukih yang tinggal di Gunung Agung. Barangkali ayahmu telah menemui Naga Besukih untuk meminta harta?” tanya temannya.
“Hmm… benar juga. Pasti ayah mendapat harta itu dari Naga Besukih,” kata Manik Angkeran. Manik Angkeran tak mau menyia-siakan kesempatan. Ia segera mendaki Gunung Agung dan membunyikan genta ajaib itu.
Naga Besukih menemui Manik Angkeran. “Maaf Naga Besukih. Namaku Manik Angkeran, putra dari Sidhimantra. Bisakah aku meminta sedikit hartamu lagi untuk melunasi hutangku?” tanya Manik Angkeran.
“Banyak sekali utangmu? Tapi baiklah, untuk terakhir kalinya, aku akan memberimu sedikit harta. Setelah ini, kau tak boleh kesini lagi untuk meminta harta,” jawab Naga Besukih.
Naga Besukih mengambil hartanya di dalam gua. Tanpa ia sadari, Manik Angkeran mengikutinya. Betapa takjubnya Manik Angkeran, dalam gua itu terdapat setumpuk emas dan permata! Melihat semua itu, timbul niat jahatnya.
Ia ingin membunuh Naga Besukih dan menguasai hartanya. Ia menghunus pedang dan menyabetkannya ke tubuh Naga Besukih. Naga Besukih terluka, la tak menyangka kalau Manik Angkeran akan membunuhnya.
Naga Besukih sangat marah dan menyemburkan api dari mulutnya. Manik Angkeran ketakutan. Ia berusaha melarikan diri. Namun Naga Besukih dengan mudah menangkapnya. Manik Angkeran pun terbakar api yang keluar dari mulut Naga Besukih. Tubuhnya menjadi abu.
Sementara itu, Sidhimantra yang kehilangan gentanya, menyusul ke Gunung Agung. Ia yakin Manik Angkeran yang mencurinya.
Sesampainya di Gunung Agung, Sidhimantra melihat tubuh anaknya yang telah menjadi abu. Dilihatnya Naga Besukih menggeliat-geliatkan tubuhnya dan mulutnya terus menyemburkan api.
“Apa yang terjadi pada anakku?” ratap Sidhimantra. Naga Besukih menceritakan semuanya pada Sidhimantra.
“Wahai Naga Besukih yang baik, sudikah kau menghidupkan putraku lagi? Berilah ia kesempatan untuk memperbaiki dirinya,” mohon Sidhimantra.
Naga Besukih berpikir sebentar, lalu menjawab “Baiklah. Aku akan menghidupkan putramu lagi. Namun, ia tak boleh pulang denganmu. la harus tinggal di sini dan menjadi muridku. Aku akan mendidiknya agar menjadi orang yang baik dan berilmu.”
“Apa pun yang kau lakukan, asal itu membuat anakku menjadi orang yang baik, maka lakukan,” jawab Sidhimantra. Dengan kesaktiannya, Naga Besukih menghidupkan kembali Manik Angkeran. “Ampuni aku Ayah, ampuni aku Naga Besukih. Aku berjanji tidak akan mengulangi lagi semua kelakuan burukku,” kata Manik Angkeran.
“Kami mengampunimu, anakku. Tapi kau tak bisa pulang bersama Ayah. Kau harus memulai hidup baru di sini bersama Naga Besukih yang akan mendidikmu,” jawab Sidhimantra.
Kemudian Sidhimantra mengeluarkan tongkat dan membuat garis yang memisahkan dirinya dengan anaknya. Tiba-tiba, dari garis itu keluar air yang makin lama makin deras.
Gunung Agung pun terpisah dari sekitarnya. Genangan air itulah yang kemudian dikenal dengan Selat Bali yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa.
Kontributor : Kiki Oktaliani