SuaraBali.id - Dia bisa memecah sunyinya malam di Ibu Kota. Pertunjukannya juga kerap dinanti-nanti karena dianggap bisa menjadi pelipur lara sesaat bagi kaum pinggiran yang beban hidupnya yang kian pelik. Namun keberadaannya hingga kini masih dipandang sebelah mata karena menjadi biduan dangdut jalanan.
Berjarak sekitar 100 meter dari Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, tepatnya di pinggir trotoar, suara biduanita dangdut Gerobak bernama Rama masih terdengar samar-samar, karena beradu dengan bisingnya suara sepeda motor dan mobil yang masih mengaspal di malam hari.
Semakin dekat terlihat perempuan berusia 26 ini sedang menendangkan sebuah lagu dangdut dengan asyik. Tubuhnya sesekali menari-nari kecil, mengikuti alunan gendang yang berasal dari perangkat musik yang tersambung dengan pelantang suara di atas gerobak.
Rama tak sendirian di malam itu, ada beberapa pria yang ikut bergoyang mengikuti irama.
Dalam remang lampu jalanan, mereka syahdu berdendang dan bergoyang, melepas penat dari hingar bingar Ibu Kota.
"Kami mulai bisanya sekitar jam 10-an, nanti baru pulang sekitar jam tigaan, karena sudah mulai sepi," kata Rama saat berbincang dengan Suara.com pada Sabtu (25/9/2021) malam, seusai menendangkan tiga buah lagu permintaan dari penonton.
Di trotoar Stasiun Jatinegara, bukan hanya gerobak dangdut miliknya yang mangkal, ada sekitar lima sampai delapan gerobak bermuatan sound system berjejer dengan jarak masing-masing dua puluh meteran.
Di tengah bising jalanan, dan dendang musik dangdut yang saling bersahut, Rama bercerita banyak tentang profesinya sebagai biduanita dangdut gerobak yang telah digelutinya sejak 2017 silam.
Faktor ekonomi mendorongnya harus turun ke jalanan, mengumpulkan rupiah demi rupiah dari tarikan suaranya. Suami pertamanya saat itu tidak bekerja, sementara mereka telah memiliki tiga buah hati.
"Dari dulu dia (suami pertama Rama) ngizinin. Karena dia nganggur, jadi enggak nafkahi gitu," kata Rama dengan suara keras, karena kalimat yang terucap dari mulutnya tenggelam dihantam musik dangdut.
Awalnya Rama mengaku hanya ikut bersama bosnya, pemilik organ tunggal keliling.
"Tapi bos aku meninggal," imbuhnya.
Demi melanjutkan pekerjaannya itu, Rama lalu berupaya mengumpulkan uang agar dapat membeli seperangkat alat dangdut gerobak. Selama dua tahun, akhirnya Rama bisa mempunyai tiga gerobak dangdut yang masing-masing bermodal Rp30 juta.
"Alhamdulillah sekarang alat sudah tiga, punya aku sendiri," ujar Rama.
Sepi karena Pandemi
Dari satu lagu yang diputar, Rama mematok harga Rp10 ribu. Jika sedang ramai dan para tamu berbaik hati, Rama bisa mendapat lebih dari saweran.
Namun dari pengakuan Rama, pendapatannya tak menentu, terkadang ia mengaku hanya membawa pulang uang puluhan ribu. Terlebih pada situasi pandemi Covid-19 ini.
Sebelum pandemi Covid-19 menghantam, Rama dan timnya bisa mengantongi pendapatan kotor senilai Rp1 juta. Jumlah uang itu bisa didapatkan pada malam Minggu.
"Itu bukan dari tiga gerobak masing-masing dapat satu juta ya. Jadi itu misalnya dari gerobak yang saya bawa, tapi dari gerobak duanya bisa dapat Rp200 ribu atau Rp100 ribu. Jadi emang enggak menentu gitu" jelasnya.
Sementara saat situasi pandemi sekarang ini sulit baginya mendapatkan penghasilan seperti sebelumnya.
"Kalau sekarang palingan Rp500 ribu. Itupun susah," ujarnya.
Apalagi saat PPKM Level 4 diberlakukan di Jakarta pada awal Agustus lalu, diakuinya sangat menyulitkan perekonomian mereka.
Mengingat Satpol PP gencar melakukan razia, untuk membubarkan kerumunan orang. Demi bertahan hidup, Rama dan teman-temannya terpaksa juga harus kucing-kucingan dengan petugas ketika sedang patroli.
"Tapi enggak pernah sampai diangkut (ditangkap Satpol PP) sih kalau aku," kata Rama.
Dalam pembagian pendapatan, setiap anggota tim dibagi rata. Jika dari satu gerobak terdiri dari tiga orang akan dibagi empat bersama Rama sebagai pemiliknya.
"Uang saweran, uang lagu kami kumpulkan semuanya. Habis itu dipotong sama uang kuota internet buat YouTube, keamanan dan lain-lain, baru sisanya dibagi rata semuanya,” ungkapnya.
Suka Dicolak-colek
Menjalani profesi sebagai biduan dangdut keliling bukan tanpa risiko, kata Rama. Terkadang Rama mengaku risau dengan tangan-tangan jahil para pria ketika memintanya untuk bernyanyi.
"Ya mau bagaimana, orang-orang pada mabuk," ujarnya.
Kendati demikian, ibu tiga orang ini menganggap hal itu tetap saja tidak dapat dibenarkan. Bagaimana pun juga, biduan dangdut keliling harus tetap dihargai. Baginya itu adalah sebuah profesi, tempatnya menggantungkan perekonomian keluarganya.
Rama sama halnya dengan penyanyi di layar televisi, atau di konser-konser, hanya saja panggung Rama berada di jalanan. Meski tetap was-was, Rama mengaku sejak menjalani karir sebagai biduan dangdut jalanan tidak sampai dilecehkan terang-terangan oleh para pria yang menonton pertunjukannya.
Dijaga Suami
Jurus Rama tetap aman dari pelecehan karena dia mengaku bisa menjaga diri dan berperilaku sopan selama melantunkan lagu-lagu yang di-request para penontonnya.
"Kita juga gimana-nya dulu kan. Kita kan emang bukan cewek liar juga kan, orang juga ngerti. Jadi enggak sembarangan,” tegasnya.
Hal lain yang membuat Rama terbebas dari aksi-aksi pria nakal selama bekerja di malam hari karena kerap didampingi oleh suami keduanya. Karena diawasi sang suami, orang-orang tidak berani untuk berbuat kurang ajar terhadapnya.
"Karena ada suami, jadikan sudah tahu gitu kan, ini bininya. Ini yang punya gitu," ujar Rama.
Bukan hanya Rama dan timnya yang mengais pundi-pundi rupiah di sepanjang trotoar Stasiun Jatinegara.
Berjarak, sekitar 50 meter dari lokasinya mangkal, berjejer puluhan pekerja seks komersial (PSK). Turut pula penjual minuman keras (miras) yang menjajakan dagangannya secara sembunyi-sembunyi.
Berada di lokasi itu dan berinteraksi dengan mereka, tak dipungkirinya kerap dipandang sebelah mata. Apalagi pengendara yang melintas, dapat saja langsung menghakiminya. Namun seperti yang dia tegaskan sebelumnya, dirinya bukan perempuan liar.
"Pasti (dipandang sebelah mata)," ujarnya.
Baginya, pandangan itu hanya dari orang-orang yang tidak mengenalnya. Di lingkungan tempat tinggalnya dan keluarga ya hal itu tidak berlaku.
"Saya sangat dihargai," kata Rama.
Biduan Jalanan Naik Kelas
Terlebih semenjak dia memiliki tiga unit gerobak yang dilengkapi perangkat untuk memutar musik dangdut, pandangan orang tentang Rama berubah.
"Justru semenjak aku kerja kayak gini, punya alat sendiri tiga, lebih dipandang. Dibanding yang dulu saat aku belum kerja, nganggur, jadi dipandang sebelah mata. Sekarang lebih dipandang oleh tetangga. Kalau di sini (di jalanan) pasti, (dipandang sebelah mata orang yang lewat)," ungkapnya.
Sementara itu, tiga buah hatinya juga tidak mempersoalkan profesinya. Kata Rama, sang anak tidak pernah malu dengan pekerjaan yang dijalani orang tuanya.
"Enggak pernah (malu). Alhamdulillah. Anak sama saya semuanya. Mereka tahu saya nyanyi," ujarnya.
Bersenang di Jalanan, Pulang Puyeng Lagi
Manisnya rupiah dari dendangan dangdut gerobak turut dirasakan Megi (35).
Dia adalah salah satu anggota timnya Rama, yang juga menjadi penyanyi sekaligus keamanan, jika ada tamu yang berbuat iseng.
Dalam sehari dia dapat mengantongi uang 100 ribu, terkadang bisa dibawa nominal itu. Jika beruntung juga bisa di atasnya.
"Jadi emang tidak menentu," ujarnya.
Pria kelahiran 1986 ini mengaku mulai terjun ke jalanan untuk bernyanyi sejak 1999 dan mulai aktif pada tahun 2000.
"Kayaknya baru umur belasan saat itu," imbuh Megi.
Tak ada pilihan baginya, sejak meninggalkan kampung halaman di Cirebon, profesi ini harus dijalani sebaik-baiknya.
"Kami nikmati saja, walaupun siapa sih yang mau di jalanan" ujar Megi.
Kata ayah dari lima orang anak ini, saat mendendangkan lagu dia harus profesional. Semua beban masalahnya harus dilepas. Namun, setelah pulang ke rumah, segala permasalahan hidup kembali berputar-putar di pikirannya.
"Enak saat di sini, kita nyanyi, happy-happy, tapi kalau pulang ke rumah yang pusing lagi," ujarnya sambil tertawa.
Tahan Banting Meski Kerap Digoda, Lika Liku Rama Biduan Jalanan yang Kini Naik Kelas - 5
Hiburan Kelas Bawah
Keberadaan dangdut gerobaok di kawasan Jatinegara menjadi hiburan murah bagi masyarakat kelas bawah.
Rama dan Megi membenarkan hal itu. Mereka mengatakan kebanyakan orang yang menonton pertunjukan dangdut gerobak adalah pekerja seperti kuli angkut di pasar, sopir angkot, kuli bangunan dan proyek.
Dengan merogoh uang Rp10 ribu, mereka bisa bernyanyi dan bergoyang asyik, melepas segala beban hidup yang tidak berkesudahan.
Jika memiliki uang lebih, mereka bisa membeli sebotol minuman keras sebagai pelengkap untuk bersenang-bersenang.
Bangun, adalah salah satunya. Dia baru memintakan tiga-dua lagu untuk dinyanyikan Rama saat malam itu.
"Lumayan mas buat senang-senang, buang stres sesaat," kata dia usai menari lepas.
Dia mengaku jauh-jauh datang dari kawasan Jakarta Selatan, khusus untuk berdangdut ria. Bangun datang bersama satu rekannya.
"Saya kuli proyek, capek kerja, ya pelariannya ke sini," ujarnya.
Tak dapat dipungkiri keberadaan dangdut dorong adalah alternatif bagi masyarakat kelas bawah untuk bersenang-senang versi mereka. Bagaimana pun, mereka berhak mendapatkan pelipur lara dari kerasnya kehidupan Ibu Kota.