Menilik Kejadian G30S 1965 di Bali: Pada 1964, Siswa SMP Sudah Ikut Berpolitik

Murid SMP diajak paham berpolitik dengan menjadi underbow.

RR Ukirsari Manggalani
Senin, 06 September 2021 | 20:12 WIB
Menilik Kejadian G30S 1965 di Bali: Pada 1964, Siswa SMP Sudah Ikut Berpolitik
[beritabali.com/ilustrasi: gede hartawan/Siswa SMP Sudah Ikut Berpolitik di 1964]

SuaraBali.id - Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G30S PKI menjadi bagian kelam dalam sejarah Indonesia. Trauma ideologi komunis sangat terasa, dan jejaknya ada di Pulau Bali.

Dikutip dari Beritabali.com, jaringan SuaraBali.id, salah satu saksi historis G30S PKI adalah mantan jurnalis Putu Setia dalam Buku "Wartawan Jadi Pendeta, Otobiografi Putu Setia".

Setelah menjadi pendeta Hindu, Nama Putu Setia berganti menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda dan akrab disapa Mpu Jaya Prema.

Dalam salah satunya itu, Putu Setia mengulas secara detail tentang sejarah kelam G30S PKI, khususnya di wilayah tempat tinggalnya waktu itu, di wilayah Kabupaten Tabanan.

Baca Juga:Wisata Bali: Bisnis Jet Pribadi Tumbuh Saat Pandemi, Rute Pulau Dewata Terlaris

Saat itu, ia baru duduk di bangku kelas satu SMP di Bajera Tabanan. Di sekolahnya waktu itu Putu Setia termasuk murid yang cerdas, terutama di mata pelajaran ilmu ukur dan aljabar.

Sekitar bulan Oktober ada perubahan di sekolahnya. Datang seorang guru pindahan dari Flores yang waktu itu disebut "guru bantuan". Dia orang Bali dari Desa Dukuh Palu. Siswa sekolah memanggilnya Pak Dedeh.


Pak Dedeh mendapat tugas meningkatkan status SMP Gotong Royong Bajera menjadi sekolah negeri. Di awal Desember 1964, status SMP Gotong Royong Bajera menjadi SMP Negeri dan Pak Dedeh menjadi Kepala Sekolah. Kepala sekolah sebelumnya, Wiranata, yang merupakan Ketua PNI Koordinator Kecamatan juga berhenti. Beberapa guru juga berhenti karena ada guru sekolah negeri yang datang.

Kepala Sekolah yang lama sesekali datang mengumpulkan murid murid saat jam istirahat. Dia banyak memberi wejangan tentang situasi politik negara saat itu. Yang banyak diberikan adalah soal Nasakom (Nasional Agama Komunis).

Saat itu, ada dua guru swasta dari unsur komunis (PKI) yang masih dipertahankan di sekolah Putu Setia. Keduanya berasal dari Antosari,1 km dari Bajera.

Baca Juga:Wisata Bali: Desa Serangan Bertahan di Zona Hijau COVID-19, Warga Patuh Prokes

Pak Wiranata juga meminta siswa-siswa terjun ke politik menjadi anggota organisasi "underbow" partai baik itu GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) yang berafiliasi ke PNI, atau gabung ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang berafiliasi ke PKI. Waktu itu Putu Setia memilih GSNI karena warga Pasek di kampungnya semuanya PNI.

Perang Pidato, perang janger, perang vokal grup yang awalnya hanya ada di panggung-panggung kampanye, berubah menjadi "perang" sungguhan di arena kampanye hingga di luar kampanye.

Sering terjadi perkelahian di area terbuka karena ada kelompok yang mengacau. Akhirnya setiap partai mempunyai semacam pasukan khusus dengan nama berbeda-beda. Di Kecamatan Bajera satuan khusus pengamanan PNI dipegang oleh Gastam. Di wilayah Pupuan, satuan pengamanan partai PNI dipegang Banteng Marhaenis (BM) yang juga merupakan perkumpulan silat.


Sementara di lingkungan PKI, pengamanan Partai langsung dipegang Pemuda Rakyat (PR) dengan menggunakan pakaian khusus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak