SuaraBali.id - Perang api jadi salah satu tradisi di lingkungan Sweta dan Negara Sakah, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram untuk rayakan Hari Raya Nyepi. Perang api ini berlangsung saat pandemi COVID-19 di Tugu Tani Cakranegara, Kota Mataram.
Perang Api ini juga untuk menolak Bhuta Kala. Ritual ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun, tepatnya pada abad ke-16 saat jaman kerajaan.
Dan sampai saat ini dilaksanakan secara turun temurun, usai pawai Ogoh-ogoh. Walau kali ini tanpa pawai Ogoh-ogoh karena kondisi Covid-19, warga tetap melaksanakan tradisi Perang Api. Dengan harapan secara ritual Virus Corona bisa dimusnahkan.
Namun tradisi ratusan tahun yang rutin dilaksanakan saat malam Pangerupukan ini, untuk tahun ini durasinya dipersingkat.
Baca Juga:Cukup Bawa KTP, Lansia Jabodetabek Bisa Ikut Vaksinasi Covid-19 di Istora
Sebelum Corona, tradisi perang api ini menjadi tontonan unik wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Ritual ini tetap dilaksanakan karena keyakinan warga, jika tidak dilaksanakan justru akan datang penyakit.
Tradisi ini intinya mengusir bhuta kala, juga warga berkeyakinan ritual ini juga bisa mengusir penyakit.
Harapan warga, mudah-mudahan Virus Corona juga bisa hilang melalui ritual ini.
Sementara, Kabag Ops Polresta Mataram, Kompol Rafles Girsang, bersama personelnya ikut mengawal saat ritual ini berlangsung' Kata Girsang, pelaksanaan tradisi ini sudah ditekankan agar menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes).
Baca Juga:35 Warga dan Jemaah Masjid Jogokariyan Positif COVID-19
"Aparat keamanan tetap melakukan penjagaan dan hingga akhir acara, ritual “perang api” berjalan lancar dan tidak ada warga yang terluka," kata Girsang, Sabtu (13/3/2021) petang.
Warga telah bersiap membawa seikat daun kelapa kering atau 'bobok'.
Sesekali teriakan dari dua kubu lawan saling bersahutan. Suasana makin riuh, saat api obor mulai dinyalakan.
Minggu (14/3/2021) sore itu puluhan umat Hindu dari dua kampung yaitu Negara Saka dan Sweta, telah berkumpul untuk melaksanakan tradisi Perang Api, dengan prokes Covid-19.
Kedua kubu saling memukul tubuh lawan dengan bobok yang masih menyala.
Meskipun saling pukul dan terluka, namun warga dari kedua kubu tidak pernah berseteru dan bermusuhan setelah perang api selesai.
"Selama ini tidak ada permusuhan dari dua kubu, bila ada perselisihan langsung diselesaikan hari itu juga," terang seorang krama yang ikut dalam ritual ini.
Usai perang api selesai, warga dari kedua kubu pun saling rangkul dan bersalaman. Tidak ada dendam diantara kedua kubu. Kubu Banjar Negara Sakah maupun Banjar Sweta.
Selain untuk menyambut perayaan Nyepi, sebagian warga percaya perang api ini dahulu dilakukan untuk penolak bala dari serangan wabah penyakit, dan merupakan cerminan semangat umat Hindu untuk melaksanakan Nyepi yang akan dilaksanakan mulai dari menjelang terbit matahari sampai keesokan harinya saat menjelang terbit matahari.
Meskipun bergelora dan bernuansa penuh kekerasan, namun para pemuda dari banjar yang berbeda itu tetap menjaga rasa persaudaraan dan saling menghargai.
Mereka berpelukan dan bersalaman sebagai wujud kokohnya persatuan menjaga tradisi leluhur mereka.
Menjelang malam, perang pun berakhir, Gobog itu kemudian dibawa pulang dan akan dibakar kembali, sebagai tanda hilangnya keburukan dan musibah di muka bumi.
Umat Hindu di Pulau Lombok lalu berharap bisa memenangkan kebaikan atas segala bentuk kejahatan yang merupakan tujuan pelaksanaan catur brata penyepian.