- Musim layang-layang di Bali adalah perayaan untuk Rare Angon, sosok anak gembala jelmaan Dewa Siwa.
- Tradisi ini adalah ritual spiritual, doa tanpa kata untuk kesuburan, sesuai filosofi Tri Hita Karana.
- Kini, tradisi dilestarikan oleh komunitas (sekaa layangan) sebagai simbol kebersamaan dan spiritualitas.
SuaraBali.id - Ketika angin musim timur berembus membelai pucuk-pucuk padi, langit Bali tak lagi sama.
Ia berubah menjadi panggung megah bagi naga, burung, dan dewa-dewi kertas yang menari lincah, ditarik oleh benang-benang yang terhubung langsung ke jantung tradisi.
Ini bukan sekadar musim layang-layang; ini adalah perayaan untuk Sang Rare Angon yang diartikan si anak gembala penjaga alam.
Jauh sebelum menjadi festival yang meriah, tradisi ini lahir dari kesederhanaan para petani di pematang sawah.
Setelah panen usai, di waktu senggang mereka, para rare angon ini akan menerbangkan layang-layang sederhana sambil menjaga ternak mereka.
Permainan yang polos itu, tanpa disadari, adalah cerminan dari sebuah mitologi yang lebih agung.
Dalam kepercayaan Hindu Bali, Rare Angon adalah perwujudan Dewa Siwa yang turun ke bumi dalam wujud seorang anak gembala.
Ia datang diiringi alunan seruling merdu, membawa angin yang memberi kehidupan, dan menjaga sawah ladang dari ancaman hama.
Menerbangkan layang-layang kemudian menjadi lebih dari sekadar permainan; ia menjelma menjadi sebuah ritual, cara manusia berkomunikasi dengan langit.
Baca Juga: Rahasia Makan di Jimbaran Murah : 3 Warung Ikan Bakar Dan Trik Beli Langsung di Pasar
Setiap layang-layang yang mengudara adalah doa yang dilantunkan tanpa kata.
Sebuah persembahan rasa syukur kepada para dewa, sekaligus permohonan restu kepada Dewa Bayu, sang penguasa angin, agar ia meniupkan napas kesuburan bagi tanah mereka.
Filosofi Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan terwujud nyata dalam sehelai benang dan selembar kain yang membumbung tinggi.
Kini, tradisi itu dihidupkan oleh para sekaa layangan, komunitas-komunitas yang bekerja dalam semangat kebersamaan.
Mereka adalah para Rare Angon modern. Dari tangan-tangan terampil mereka, lahirlah layang-layang raksasa yang menjadi simbol kebanggaan dan spiritualitas.
Maka, jika Anda menatap langit Bali antara bulan Mei hingga September, Anda tidak hanya akan melihat layang-layang.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Batik Malessa, Dari Kampung Tipes Memberdayakan Perempuan dan Menggerakkan Ekonomi Keluarga
-
BRI Bersama BNI dan PT SMI Biayai Proyek Flyover Sitinjau Lauik Senilai Rp2,2 Triliun
-
Rekomendasi Rental Motor Murah di Bali Mulai Rp50 Ribu
-
5 Rekomendasi Penginapan Murah Meriah di Ubud Bali
-
7 Tempat Wisata Wajib Dikunjungi Saat Pertama Kali ke Bali