Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 20 September 2025 | 17:22 WIB
Perang Puputan di Bali
Baca 10 detik
  • Puputan Badung (20/9/1906) adalah pilihan martabat, bukan bunuh diri, lahir dari tabrakan hukum dua budaya.
  • Kabar Puputan Denpasar memicu "Baliseering", upaya pelestarian Bali yang dikendalikan, mengubah sejarah jadi citra.
  • Memahami Puputan kini butuh kejujuran, menolak romantisasi atau sinisme, agar masa lalu bicara apa adanya.

Menyebut Museum Bali, agar kita mengerti bagaimana “pelestarian” dapat sekaligus merawat dan mengendalikan; menyebut arus benda yang pergi dan—pelan-pelan—pulang, agar kita paham keadilan sejarah hampir selalu datang tertatih, memerlukan kurator, arsip, dan kesabaran, bukan hanya pengumuman.

Pada akhirnya, puputan tidak selesai di lapangan ini. Ia selesai di cara kita berbicara hari ini—di kurikulum sekolah, di teks pameran, di naskah tur yang menentukan apa yang disampaikan pemandu. Kita bisa mewarisi romantisme, atau mewarisi keberanian menata ulang kata-kata. Jika memilih yang kedua, maka menulis tentang puputan berarti menulis agar kejujuran mendapat tempat.

Agar masa lalu tidak dimuseumkan dalam wangi kemenyan, melainkan diizinkan berbicara dengan logika yang kadang membuat kita tak nyaman. Dan ketika senja benar-benar jatuh, bayang patung memanjang di rumput, kita pulang dengan perasaan yang ganjil tapi berguna: bahwa kehidupan yang kita rayakan hari ini berdiri di atas keputusan-keputusan yang, pada suatu siang di Denpasar, diambil dengan tenang.

Load More