Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Minggu, 29 Januari 2023 | 19:08 WIB
Wayan Darma, pengusaha makanan dan minuman dari salak saat ditemui di kediamannya, Jumat (27/1/2023) [suara.com/Putu Yonata Udawananda]

SuaraBali.id - Dilihat dari luar, sebuah bangunan di Jalan Cekomaria, Denpasar nampak seperti rumah biasa. Namun, di dalamnya beroperasi industri olahan pangan dari buah salak milik Wayan Darma (50) yang menghasilkan berbagai jenis olahan seperti dodol, manisan, hingga arak bali.

Wayan Darma dan istrinya mendirikan usaha ini pada tahun 2003 silam. Mulanya, usahanya ini dimulai setelah istrinya terpaksa berhenti bekerja karena keperluan untuk mengurus anaknya yang masih balita.

 Saat itu, Darma yang juga bekerja di bidang akuntan juga turut membantu memasarkan, sedang istrinya mengurus produksi di kampung halaman Darma di Desa Sibetan, Karangasem.

Pria kelahiran 1973 itu menetapkan untuk membuat olahan salak karena menjadi ciri khas daerahnya.

Baca Juga: Malang, Pengusaha Laundry Ini Telepon Genggamnya Dirampas Maling, Warganet Kasian

Dodol yang menjadi produk pertamanya kemudian ia pasarkan hingga ke Pasar Oleh-Oleh Sukawati, Gianyar.

“Saya berpikir apa ciri khasnya, akhirnya saya tetapkan untuk membuat olahan salak. Di rumah orang tua dan tenaga yang bikin, saya masarkan di sini. Karena kerja Senin sampai Jumat, cuma bisa masarin Sabtu Minggu. Sabtu Minggu saya ngacung ke Sukawati, saya naruh-naruh aja,” tutur Darma saat ditemui di rumahnya.

Usaha dodolnya mendapat hasil yang positif seiring berjalannya waktu. Perlahan, usahanya pun berkembang dengan memproduksi manisan, keripik, hingga minuman serbuk yang semuanya berbahan dasar salak.

Produk berlabel UD. Nantafood miliknya semakin tersebar di berbagai toko oleh-oleh di Bali. Sejak itu, dia memutuskan untuk memindahkan tempat produksinya ke rumahnya.

Setelah usahanya meningkat selama lebih dari 10 tahun, Darma berpikir untuk membuat olahan pangan yang tidak memiliki kadaluwarsa.

Baca Juga: Banting Setir dari Manajer Akuntansi Jadi Pebisnis Arak Salak Khas Bali

Lahirlah idenya untuk membuat arak dengan bahan dasar salak pada 2017 lalu. Setelah melalui trial and error, Darma mulai memasarkan araknya secara kecil-kecilan.

Namun, pada akhir 2017 Gunung Agung yang tidak jauh dari kampung halamannya meletus yang akhirnya menghambat usahanya. Kondisi diperparah saat Darma divonis pecah pembuluh otak yang mengharuskannya untuk berobat rutin.

“Desember 2017 sakit penyumbatan pembuluh darah di otak. Selama 2018 terus kumat, awal sampai 2019 pindah dokter. Sejak itu tidak pernah kumat tapi disarankan untuk istirahat,” ungkapnya.

Darma yang saat itu masih bekerja sebagai manajer akuntan menghadapi dilema jika dia harus berhenti bekerja. Ayah dari dua anak itu memutuskan tetap bekerja meski dalam keadaan sakit.

Di tengah bisnis makanannya yang menurun, angin justru kembali mengarah padanya.

Darma mengetahui rancangan peraturan Gubernur Bali yang memungkinkan legalisasi bagi usaha minuman destilasi khas Bali seperti arak.

Semangatnya pun kembali, dia pun bersiap untuk melegalkan produk arak salaknya yang selama ini hanya dijual kecil-kecilan. Puncaknya adalah ketika akhir tahun 2019 Darma memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai manajer akuntan dan fokus pada usahanya.

“Ternyata Pergub itu keluar bulan Januari 2020. Setelah keluar itu, saya langsung cari partner untuk melegalkan produk itu. Februari keluar lah izin legalnya itu. Saat itu saya langsung produksi sekitar 100 karton,” tuturnya.

Keyakinannya terbayar, kini usaha arak salaknya yang diberi merek Selaka Ning terus berkembang. Dia bahkan sudah memiliki merek arak dari buah lontar yang bermerek Palwana.

Sejak awal, Darma sudah percaya akan pentingnya ciri khas dalam berbisnis. Memilih dan berpegang pada buah salak selama usahanya berjalan sudah menjadi ciri khas bagi usahanya.

Darma bahkan menyebut tidak ada yang tersisa dari seluruh bagian buah salak. Semuanya akan diolah, mulai dari daging dan serat yang dia jadikan dodol dan manisan, airnya menjadi arak, bijinya diolah menjadi minuman serbuk, dan kulitnya diubah menjadi pupuk.

“Dari awal sudah pakai salak, karena kita harus punya ciri khas. Kalau kita usaha, untuk bertahan itu harus punya ciri khas. Jangan melenceng dari ciri khas kita sendiri, agar kita beda,” ujarnya.

Meski sempat naik turun saat pandemi Covid-19, kini usahanya sudah kembali stabil. Usaha makanannya bahkan sudah mencatat penjualan hingga Rp 50 juta dalam sebulan.

Sementara bisnis araknya mampu menjual 2.500 botol dengan penjualan mencapai Rp 500 juta pada tahun 2022 lalu.

Setelah 20 tahun memiliki usaha pangan, dia meyakini bahwa setiap pengusaha harus terbiasa dengan rasa malu. Baginya, ego dan rasa malu adalah sifat yang harus dibuang jauh bagi setiap pengusaha.

“Kalau kita mau bisnis tidak mau malu, tidak akan berhasil. Harus berani malu dan berani menurunkan ego. Masak manajer malu nenteng tas. Perasaan itu buang aja, jadi pengusaha itu harus biasa malu,” pungkasnya.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

Load More