Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Jum'at, 26 Agustus 2022 | 19:16 WIB
Ilustrasi SPBU. (Shutterstock)

SuaraBali.id - Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, seperti Pertalite dan Solar membuat ketar-ketir masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan sebagai sopir angkot dan ojek online (ojol).

Pasalnya, kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut akan membuat penghidupan mereka semakin terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Persoalan tersebut disampaikan salah satu pengemudi ojol di Denpasar, Reza (23).

Sudah 1,5 tahun, Reza menggantungkan nasib dari kerjanya menjadi ojol. Pun penghasilannya tersebut hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Kayaknya nyiksa deh, ini aja sudah pas-pasan, apalagi kalau naik," ujarnya saat ditemui pada Jumat (26/8/2022).

Baca Juga: Nelayan Aceh Minta Pemerintah Tunda Kenaikan Harga BBM: Sekarang Saja Sulit Dapat Pertalite

Reza mengaku, sebelum ada kenaikan harga Pertalite menjadi Rp7.600 per liter, kerap mengonsumsi bahan bakar pertamax. Namun seiring naiknya harga pertamax, ia pun beralih menggunakan Pertalite.

Pengemudi ojek online di Bali, Reza hanya berharap kenaikan harga BBM bersubsidi juga diikuti dengan naiknya tarif ongkos. [Suara.com/Yonata Udawanda]

Selain ancaman kenaikan harga BBM, pendapatan Reza juga berkurang. Lantaran ongkos untuk pengemudi yang berkurang dan juga makin banyaknya jumlah pengemudi ojol di Denpasar.

Dalam sehari, Reza bisa memperoleh Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Untuk kebutuhan BBM harian saja, ia harus menyisihkan Rp 40 ribu. Di tengah kondisi saat ini, Reza berharap, jika harga BBM naik juga diikuti dengan kenaikan tarif ongkos untuk pengemudi.

"Kalau seumpama (Harga BBM) naik ya tidak apa-apa asalkan ongkos kita juga naik," tuturnya.

Senada dengan Reza, seorang sopir angkot jurusan Ubung-Kereneng, Made Ramia (66) hanya bisa pasrah jika pemerintah merealisasikan kebijak yang memberatkan rakyat kecil itu.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Bakal di Atas USD100 Per Barel, Jadi Alasan Pemerintah Naikkan Harga BBM

Ramia pun tak tahu lagi cara untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi ketidakpastian, lantaran penumpang angkot saat ini sudah semakin sepi.

"Saya ndak tahu lah, ini saja sudah sepi, apalagi kalau (harga BBM) naik," ujarnya.

Ramia mengaku sudah jarang mendapatkan penumpang. Bahkan dengan tarif angkot Rp5.000, Ramia hanya bisa mendapat tiga penumpang dalam sehari. Kini, ia hanya bisa lebih mengharapkan penumpang menyewa angkot yang ditariknya.

"Kalau dapat (penumpang) charter, bisa dapat Rp50 ribu, Rp25 ribunya saya pakai beli bensin," ujar pria yang sudah menjadi sopir angkot sejak tahun 1974 itu.

Isu kenaikan harga BBM bersubsidi terus mencuat dalam beberapa waktu belakangan ini.

Sopir Angkot di Bali, Made Ramia hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah yang akan menaikan harga BBM bersubsidi. [Suara.com/Yonanta Udawanda]

Kekinian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kuota bahan bakar Pertalite berpotensi akan habis pada akhir September dan Solar berpotensi akan habis pada akhir Oktober jika tidak ada tindakan tertentu terhadap subsidi dan konsumsi.

Bahkan, Sri Mulyani membeberkan, data yang menyebut hampir sekitar 80 persen anggaran BBM bersubsidi jenis Pertalite dinikmati orang kaya. Hal tersebut diungkapkannya saat menggelar konferensi pers di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Dari subsidi Pertalite Rp93,5 triliun ini 80 persen dinikmati oleh rumah tangga yang relatif mampu bahkan sangat kaya," katanya pada Jumat (26/8/2022).

Sejumlah 80 persen tersebut, lanjut Sri Mulyani, setara dengan Rp60 triliun lebih. Artinya, anggaran subsidi Pertalite ini hampir seluruh dinikmati orang pemilik mobil. Sementara sisanya sebesar 20 persen hanya dikonsumi oleh pemilik motor.

Sedangkan untuk konsumsi Solar, penikmat subsidi ini lebih gila lagi. Hampir 95 persen dinikmati orang kaya, sementara sisanya 5 persen baru orang miskin.

"Untuk masyarakat tidak mampu hanya mencapai 5 persen sementara 95 persen dinikmati oleh orang-orang mampu dari nilai subsidi mencapai Rp149 triliun," katanya.

Kontributor: Yonata Udawanda

Load More