Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Minggu, 24 Juli 2022 | 07:30 WIB
Anak-anak saat bermain di Asrama Transito, Mataram, Lombok, Sabtu (23/7/2022) (Suara.com/Toni Hermawan)

SuaraBali.id - Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, anak-anak mulai berdatangan meramaikan lapangan yang berukuran kecil di Asrama Transito, Mataram, Lombok. Bola yang cukup usang mulai dilempar, riuh tawa dan tepuk tangan menjadi satu di sebuah lapangan yang berdebu.

Milati Istiqomah Fajarini, remaja yang kini duduk bangku SMP di Kota Mataram punya cerita yang akan dikenangnya hingga dewasa kelak. Ini adalah tentang kesehariannya saat sore menjemput malam, di lapangan Asrama tempat dirinya dan keluarga merasakan suka duka sebagai pengungsi. 

Sebuah jaring mulai dibentang untuk membagi tim dalam bermain voli. Pemainnya cukup beragam, mulai dari kategori anak hingga dewasa jadi satu di lapangan.

"Setiap sore kadang main voli sama anak-anak asrama kadang ada juga dari luar komplek," kata Milati kepada Suara.com, Sabtu (23/7/2022).

Baca Juga: Videonya Sempat Viral, Bule Spanyol dari Bali Dikira Jadi Pengamen di Mandalika

Menjadi pengungsi dari jemaah Ahmadiyah, mungkin bukan keinginannya. Namun ia mengaku bahagia dapat berkumpul dan bermain bersama teman-temannya di luar komplek Asrama, Transito.

“Hampir tiap hari bermain,” tegasnya.   

Milati juga mengaku nyaman belajar di sekolahnya. Sebab dalam lingkungan sekolah diterima oleh guru maupun siswa lainnya.

"Enggak ada yang ngejek-ngejek di sekolah, pesan ibu kalau ada yang ngejek jangan dihiraukan,” ucap perempuan berkulit sawo matang ini.

Jika rindu melanda, Milati akan meminta diantarkan ke rumah sanak saudarnya di Lombok Timur. Meskipun dalam waktu yang terbilang singkat, namun kerinduan itu bisa terobati.

Baca Juga: Viral Video Jambret di Mataram Tarik Kalung Warga di Rumahnya, Aksinya Cepat

"Kadang kalau selesai lebaran ke sana atau libur semester,” akunya yang tinggal di Asrama Transito sejak kecil ini.

Anak-anak saat bermain di Asrama Transito, Mataram, Lombok, Sabtu (23/7/2022) (Suara.com/Toni Hermawan)

Rindu Kampung Halaman

Hampir 20 tahun para pengungsi Ahmadiyah tinggal di Asrama Transito, Mataram, Lombok. Waktu yang cukup lama, para pengungsi pun rindu berkumpul dan bersua dengan keluarga di tanah kelahiran.

Salah satu pengungsi, Munawaroh mengaku rindu dengan tanah kelahiran di desa Sawing, Kelurahan Majidi, Kecamatan Selong, Lombok Timur (Lotim).

Namun pada tahun 2002 lalu, masih teringat dibenak Munawarah, pengusiran yang dilakukan masyarakat anti Ahmadiyah. Demi menyelamatkan nyawa dan melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan tanah kelahiran dan mengungsi di Polres Lotim beberapa waktu.

Tidak cukup sampai di sana, ia harus berpindah dan mengontrak sebelum pindah ke pengungsi Transito.

"Sebelumnya kami ngontrak sana sini baru dipindah ke Transito, kalau dihitung kami sudah 20 tahun di sini," aku Munawaroh saat ditemui di pengungsian, Sabtu (23/7/2022).

Munawaroh menceritakan kerinduannya yang mendalam, pasalnya di Lotim ia harus meninggalkan rumah ukuran 11x10 meter  dengan luas tanah enam are. Bukan hanya rumah, ibunda pun harus ia tinggalkan berpuluh-puluh tahun.

"Rumah itu sekarang dikontrakan", katanya.

Namun kini ia merasa cukup lega sebab jika ada hajatan dan keperluan keluarga di Lotim, ia bersama dua orang anaknya dapat berkunjung ke kampung halamannya tersebut.

Namun jika hajatan dan keperluan sudah selesai, ia harus kembali ke pengungsian yang menyerupai kos-kosan berderet. Tiap bilik berukuran 3×3 meter persegi.

"Kalau dibilang rindu sih, rindu (kampung halaman) namanya juga ari-ari ada di sana", keluhnya.

Ia bermimpi memiliki keinginan untuk memiliki rumah pribadi semisal BTN (rumah subsidi). Sebab jika kembali ke kampung halaman harus memulai dari nol.

"Berharap bisa keluar dari sini kalau anak-anak udah besar", mimpinya.

Senada dengan itu, Nur Aini juga mengaku rindu dengan tanah kelahiran di Selong, Kecamatan Selong, Lotim.

Ibu beranak empat ini harus membesarkan buah hatinya di pengungsian. Betapa tidak, sebelum ke Transito juga harus tinggal di sebuah kontrakan.

"Saya dari tahun 2006 disini", katanya.

Meskipun tinggal di pengungsian, Aini bersyukur anak pertamanya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

"Mereka semuanya bersekolah", katanya.

Aini juga mengakui sering mengunjungi daerah asal. Meskipun dalam waktu yang cukup singkat. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengungsian dibantu keluarga tinggal di luar kota. 

Para pengungsi ini pun berharap suatu saat kehidupan mereka akan berubah lebih baik, merasakan bermasyarakat tanpa prasangka dan terwujudnya mimpi untuk kembali kepada handai taulan di kampung halaman.

Kontributor: Toni Hermawan

Load More