Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 22 Februari 2022 | 08:17 WIB
Perajin Tahu dan Tempe Budi Arsono (60) di Lingkungan Ketapang Lelateng Kangin, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. [Foto : Istimewa/beritabali.com]

SuaraBali.id - Harga kedelai kini mengalami kenaikan yang berimbas pada produksi tahu dan tempe. Di Bali, perajin tahu dan tempe pun ikut merasakan dampaknya.

Seperti yang dialami perajin Tahu dan Tempe Budi Arsono (60) di Lingkungan Ketapang Lelateng Kangin, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Ia menggeluti usaha perajin tempe ini sudah sejak 30 tahun.

Meskipun saat ini harga bahan baku kedelai mencapai 11.500 rupiah, bahkan bisa mencapai 12.500 rupiah. Dan itu pun kedelai impor.

Menurut Budi, dalam sehari ia bisa produksi tahu dan tempe 50 kg dipasarkan ke warung desa-desa dan sebagian lagi ke Pasar Jembrana. Semua dikerjakan bersama keluarga atau skala home industry.

Kendala saat ini, ia mengaku pada harga bahan dasar kedelai yang kian hari kian melonjak. Menurutnya harga kedelai lokal hanya bertahan 1-2 bulan saja, selebihnya tidak ada lagi dan kini kedelai lokal sedikit langka.

"Dalam jumlah 50 kg kedelai maka bisa menghasilkan 100 ribu berupa tahu dan tempe mendapatkan 600 papan kecil. Ini dikerjakan atau produksi dari jam 07.00 WITA sampai jam 15.00 WITA dikerjakan hanya bersama istri dan menantu setiap harinya. Pengolahan ini masih secara tradisional. Selain kedelai juga butuh kayu bakar yang dibeli dari bahan bekas pengusaha kayu," katanya.

Budi juga menambahkan, hasil limbah ampas juga dijual untuk pakan ternak babi dan ayam ini sudah ada yang mengambil dengan harga 5 ribu sekitar 2,5 kg sehingga tak menyisakan kotoran dari hasil produksi tahu dan tempe.

"Harapannya pemerintah memperhatikan harga dasar kedelai baik impor dan lokal, hingga tidak membuat susah para pengusaha tahu dan tempe terutama yang ada di daerah. Karena tahu dan tempe adalah banyak yang dicari konsumen hampir setiap hari," pungkasnya.

Load More